Kabar24.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian untuk mencabut surat telegram yang menyatakan pemeriksaan, penggeledahan dan penyitaan polisi harus seizin kapolri.
Selain itu, ICW juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk meminta klarifikasi kepada kapolri terkait telegram itu.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, mengatakan surat telegram itu berpotensi menghalangi penegakkan hukum.
“Kalau memang nanti ini diterapkan, ini bisa berpotensi dipahami sebagai obstruction of justice atau upaya untuk menghalang-halangi proses hukum terutama kalau berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Hal itu bisa saja dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor soal adanya upaya menghalang-halangi proses hukum. Artinya begini, tidak serta merta disebut begitu, tapi ini bisa diartikan seperti itu potensinya ada,” kata Lalola Easter di kantor ICW, Senin (19/12/2016).
Telegram tersebut bisa berpotensi memperpanjang proses penegakan hukum. ICW menilai, aturan penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan telah diatur secara jelas dalam KUHAP.
Misalnya, penggeledahan dan penyitaan bisa dilakukan selama terdapat izin dari ketua pengadilan negeri. Sementara, pemanggilan dapat dilakukan selama ada surat panggilan yang sah dengan jangka waktu yang wajar.
Menurutnya, polisi hanya cukup meminta pemberitahuan dari penegak hukum lain bukan izin Kapolri.
“Bahwa pemberitahuan itu tidak sama dengan meminta izin, kalau meminta izin ini ada hubungan yang subordinat. Ini jadi seolah-olah kepolisian itu posisinya lebih tinggi dibandingkan penegak hukum lain, bahkan termasuk pengadilan,” pungkas Lalola.
ICW menilai, surat telegram itu memunculkan kesan arogansi Kepolisian. Ini akan menurunkan citra polisi di mata publik setelah sempat meningkat saat menindaklanjuti dugaan korupsi anggotanya yakni AKBP Brotoseno.
Terakhir, ICW khawatir jika telegram yang tidak pro pemberantasan korupsi tersebut akan merambah ke lembaga lain seperti TNI, DPR, DPD, BPK, MK atau lembaga negara lain.