Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Yudisial menyambut baik pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang baru-baru ini dibahas di DPR RI terutama terkait penguatan wewenang eksekutorial mereka.
Poin itu membuka peluang bagi KY untuk mengeluarkan rekomendasi yang lebih mengikat kepada para hakim nakal.
Juru Bicara KY Farid Wajdi memaparkan, selama ini rekomendasi yang dikeluarkan tidak semuanya ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung. Tak jarang mereka hasus menunggu itikad baik dari lembaga tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi mereka.
“Pelaksanaan rekomendasi itu kan menunggu itikad baik dari MA, selama ini ada bunker [tempat berlindung] yang jadi penghalang yakni term teknis yudisial,” ujar Farid kepada Bisnis.com, Kamis (26/5/2016).
Sepanjang 2015, Komisi Yudisial telah mengeluarkan rekomendasi 116 sanksi. Dari jumlah tersebut 11 merupakan sanksi teguran, 105 merupakan sanksi ringan, sedang, dan berat. Namun, hanya 45 rekomendasi yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
“Selebihnya sampai sekarang belum jelas infonya. Mereka berasalan tidak menjalankan usulan sanksi tersebut karena masuk ke wilayah teknis yuridis,” imbuh dia.
Dia berharap dengan rancangan undang-undang tersebut, terutama dengan poin penguatan kewenangan eksekutorial Komisi Yudisial. Setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh KY bisa ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung. Selain itu, RUU tersebut diharapkan agar dapat memperbaiki carur marut dunia peradilan.
Kasus suap yang menjerat hakim dan panitera membuat sejumlah pihak menanyakan efektifitas pengawasan terhadap para penegak keadilan. Rabu (25/5/2016) kemarin sejumlah pengamat dan pegiat antikorupsi memberikan komentar soal permainan perkara di lembaga peradilan.
Bivitri Susanti pengajar di STIH Jentera menyatakan, praktik permainan perkara tersebut telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menjelaskan bahwa berdasarkan catatan dari Koalisi Pemanatau Peradilan; dengan keberadan kasus terakhir yakni penangkapan dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu; ada 38 kasus yang melibatkan hakim dan panitera pengadilan.
Juru Bicara MA Suhadi menanggapi pernyataan dari komisioner Komisi Yudisial tersebut. Menurut dia pihaknya selalu menjalankan setiap rekomendasi dari KY. Hanya saja, ada beberapa persoalan yang sebenarnya bukan domain Komisi Yudisal.
“Sudah diatur dalam kode etik dan tata cara kehakiman, bahwa kewenangan Komisi Yudisial itu terkait dengan kode etik dan perilaku hakim tersebut,” kata Suhadi.
Menurut dia, komisi Yudisial tidak berwenang masuk ke masalah teknis yuridis. Dengan demikian, kalau ada rekomendasi yang menyangkut hal tersebut, tidak masuk ke dalam kewenangan KY. Suhadi mengklaim, selama ini jika ada persoalan yang terkait dengan kode etik dan perilaku hakim tidak ada masalah.
Dia menambahkan sudah banyak hakim yang melanggar etik disidangkan oleh empat komisioner Komisi Yudisial dan tiga Hakim Agung. Sepanjang catatan mereka dari sejumlah persidangan tersebut ada hakim yang sudah diberhentikan dan diberikan sanksi lainnya.
Ke depannya, MA akan memaksimalkan pengawasan kepada para hakim dan panitera pengadilan, agar kejadian tersebut tidak terjadi di kemudian hari.
Sebelumnya rentetan kasus dugaan suap yang melibatkan oknum panitera PN Jakarta Pusat dan dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu sempat mengindikasikan adanya praktik jual beli perkara di lembaga peradilan. Belakangan, khusus suap panitera PN Jakarta Pusat, menyeret nama Sekretaris MA Nurhadi.