Kabar24.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi masih mendalami Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan dan keterangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektare.
"Sumber Waras itu sedang diperiksa, Pak Gubernur sudah datang, setelah itu dicocokkan pemeriksaan Pak Gubernur dengan hasil audit BPK dan hasil penyelidikan yang dilakukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Jumat (15/4/2016).
KPK sudah meminta keterangan Ahok pada Selasa (12/4) selama lebih dari 12 jam. Usai dimintai keterangan, Ahok mengaku BPK menyembunyikan data kebenaran karena meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan yaitu membatalkan transaksi pembelian lahan RS Sumber Waras.
"Kalau seandainya nanti hasil penyelidikan KPK dikatakan ini tidak ada tindak pidana korupsinya, pasti diumumkan. Kalau ada tindak pidana korupsinya pasti diumumkan," kata Syarif.
Menurut Syarif, KPK mempelajari banyak sekali hal dalam kasus tersebut. "Sumber Waras banyak sekali, misalnya kami melihat, menginvestigasi kualitas auditnya, kami juga menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan keterangan orang yang mengetahui tentang itu, banyak sekali. Hasilnya akan diumumkan," tambah Syarif.
KPK pun membantah berada dalam tekanan, termasuk tekanan lawan politik Ahok dalam mengusut kasus tersebut.
"Kami ini kan lembaga independen, saya pikir itu lebihnya. Bahwa kami tidak merasa tertekan, baik dari pemerintah parpol maupun masyarakat itu sendiri. Kami mau bekerja berdasarkan fakta dan bukti. Kalau fakta dan bukti cukup maka akan kami lanjutkan, kalau tidak cukup maka kami tidak akan lanjutkan," tegas Syarif.
Ia pun menegaskan KPK punya data lengkap mengenai pembelian lahan tersebut sehingga tidak perlu meminta tambahan data dari pihak lain.
Setidaknya terdapat lima perbedaan antara LHP BPK dan keyakinan Ahok. Pertama, menurut BPK pembelian lahan seluas 3,64 hektare itu merugikan keuangan negara sebesar Rp191 miliar. Alasannya, setahun sebelumnya, tanah itu ditawar PT Ciputra Karya Utama seharga Rp 564 miliar.
Namun Ahok menilai bahwa tawaran PT Ciputra tersebut terjadi ketika nilai jual obyek pajak (NJOP) belum naik pada 2013. Pada 2014, NJOP naik 200%.
Perbedaan kedua adalah mengenai NJOP yang keliru. Menurut BPK harusnya basis pembelian adalah NJOP memakai Jalan Tomang Utara (sebagai lahan baru yang dibeli Pemprov DKI Jakarta) yaitu Rp7 juta per meter persegi, bukan Jalan Kyai Tapa sebesar Rp20 juta yang saat ini menjadi lokasi RS Sumber Waras.
Sedangkan menurut Ahok, penentu NJOP Sumber Waras adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan Kyai Tapa.
Perbedaan ketiga adalah tidak adanya kajian pembelian RS Sumber Waras. Menurut BPK, Pemprov DKI terburu-buru membeli lahan itu padahal lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses.
Namun Ahok menilai Jakarta sedang butuh banyak RS termasuk RS khusus kanker, bahkan belakangan pihak Yayasan Sumber Waras lah yang menawarkan lahan itu.
Perbedaan keempat, BPK menilai Pemprov DKI menunjuk langsung lokasi RS Sumber Waras yang menurut Ahok, dalam Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014 soal pengadaan tanah, pembelian lahan di bawah lima hektare bisa dilakukan secara langsung tanpa perlu kajian.
Perbedaan kelima, BPK mengungkapkan bahwa transaksi pembelian tanah antara Yayasan Sumber Waras dan DKI terjadi saat yayasan masih terikat Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Utama.
Tapi, menurut Ahok, dalam perjanjian yayasan dan PT Ciputra Karya ada klausul yang menyebutkan jika sampai 10 Desember 2014 izin peralihan lahan untuk pusat perbelanjaan dari pemerintah tidak turun, otomatis perjanjian batal dan transaksi terjadi setelah tanggal tersebut.