Kabar24.com, JAKARTA - Nama Jus Badudu atau J.S Badudu alias Jusuf Sjarif Badudu tak bisa dilepas dengan Bahasa Indonesia dan EYD alias ejaan yang disempurnakan.
Saya mengenang sejumlah hal tentang bagaimana beliau tak lelahnya mengajak Bangsa Indonesia untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bahkan, dalam sebuah episode tayangan pelajaran Bahasa Indonesia di TVRI, dulu ketika saya masih belum kuliah, Pak Jus Badudu tak segan menyentil cara berbahasa yang salah menurut kaidah. Termasuk penggunaan akhiran "ken" yang sebetulnya tidak ada dalam kamus Bahasa Indonesia.
Harap tahu saja, sentilan itu disampaikan Pak Badudu di saat tak ada seorang pun yang berani mengeritik penggunaan akhiran "ken" tersebut.
Pak Badudu yang di benak saya menjadi ikon Bahasa Indonesia itu pun lantas memiliki kesan tambahan: sebagai sosok yang berani melawan hal yang salah, walau yang harus dihadapinya adalah pihak yang ditakuti banyak orang.
Saat kuliah, meski tak menjadi mahasiswa Pak Badudu karena saya kuliah di FIKOM Unpad sedangkan Pak Badudu adalah pengajar di Fakultas Sastra Unpad, saya kerap melihat beliau berjalan menuju ruang perkuliahan. Penampilannya sangat sederhana, cara berjalannya yang bagi saya terkesan begitu mantap menambah kekaguman saya pada beliau.
Saya sering melihat beliau melintas di sekitar kampus pusat Unpad di Jalan Dipati Ukur, karena saat itu saya menjadi aktivis Unit Kegiatan Sastra dan Film GSSTF Unpad. Di sekretariat GSSTF itulah saya dan banyak teman sering menghabiskan waktu usai kuliah. Selain berlatih, juga asyik melihat mahasiswa dan dosen yang lewat: termasuk Pak Badudu.
Ternyata, selain bertemu di kampus, saya juga bisa melihat beliau di rumahnya melalui kegiatan yang tidak disengaja.
Suatu kali, sebagai mahasiswa, yang selalu senang dengan eksperiman dan eksplorasi, saya ikut bersama sejumlah teman mengamen ke kawasan Bukit Dago Selatan.
Dengan bermodal kata "permisi" dan melantunkan nyanyian, kami "mengetuk" pintu asrama putri dan beberapa rumah teman yang tinggal di kawasan Bukit Dago Selatan yang dikenal sebagai kompleks dosen itu.
Soal menyanyi kamii percaya diri, karena ada MuktiMukti yang bersuara khas dan almarhum Chairil Anwar orang Mataram, NTB yang bersuara lantang dan enak didengar, juga ada Kartawi seorang penyair kampus. Saya sendiri, hanya bermodalkan berani tampil mengatakan "permisi" karena saat itu saya tak bisa main gitar. Bernyanyi pun, modal suara saya pas-pasan bahkan lebih sering fals atau sumbang.
Ternyata, setelah mengetuk dari satu pintu ke pintu lain dengan respons yang beragam, sampailah kami di depan sebuah rumah dengan seorang lelaki tua berkaos kurung (singlet) putih sedang berdiri sambil membaca koran.
"Pak Badudu," bisik salah satu teman sambil berancang-ancang meninggalkan rumah itu karena sungkan.
Lagi-lagi, karena hobi bereksperimen, saya pun meyakinkan teman-teman untuk terus mengamen. Maka mengalunlah lagu Walk Away, salah satu lagu andalan kami saat itu.
Pak Badudu tetap asik dengan korannya, satu lagu selesai, berganti dengan lagu kedua. No response. Beliau tetap tak tergoda suara kami, satu mahasiswa Fikom dan 3 mahasiswa Fakultas Sastra Unpad yang sedang bereksperimen dan tes keberanian.
Kami pun pulang, kembali ke sekretariat GSSTF. Walau tak mendapat tanggapan dari beliau, kami tetap pulang membawa kebanggaan, karena kami telah berhasil mengamen di rumah seorang Jus Badudu yang terkenal dan jadi kebanggaan.
Hari ini, Minggu (13/3/2016) saya membaca kabar jika pada Sabtu, 12 Maret 2016 pukul 22.10 WIB, Pak Badudu meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Berita itu kembali mengingatkan saya ketika sering melihat beliau di TVRI, melihat beliau berjalan di kampus pusat Unpad di Dipati ukur Bandung, juga kenangan saat mengamen di Bukti Dago Selatan.
Jenazah Pak Badudu disemayamkan di tempat tinggalnya sehari-hari di di Bukit Dago Selatan nomor 27, Bandung.
Setelah dishalatkan di Masjid Al-Jihad Kampus Unpad Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Minggu (13/3/2016) Pak Badudu diberangkatkan ke di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Pak Badudu dikaruniai 9 anak, 9 menantu, 23 cucu, dan 2 cicit. Istrinya, Ibu Eva Henriette Alma Koroh, lebih dulu berpulang pada 16 Januari 2016 lalu pada usia 85 tahun.
Sepanjang usia Pak Badudu mengabdikan diri untuk Bahasa Indonesia, tulisan-tulisannya di sebuat surat kabar nasional dulu kerap saya baca.
Atas sumbangsih dan pengabdiannya di bidang bahasa, Pak Badudu dikaruniai tiga tanda kehormatan dari pemerintah, yakni Satyalencana Karya Satya (1987), Bintang Mahaputera Nararya (2001), dan Anugerah Sewaka Winayaroha (2007).
Selamat jalan Pak Badudu, semoga pulang sebagai jiwa yang mutmainah. Terima kasih telah menjaga Bahasa Indonesia dan tak takut untuk mengatakan perlunya menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Semoga tulisan ini menjadi pengganti takziah fisikal yang tak bisa saya lakukan di rumah Pak Badudu, di Bukit Dago Selatan sana.