Kabar24.com, JAKARTA - Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menganggap persoalan dugaan penyimpangan dalam pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YSKW), seharusnya tak ditarik ke ranah politik.
Menurutnya, bila memang ada pelanggaran hukum dalam kasus pengadaan lahan tersebut, sudah sepatutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aparatur penegak hukum menuntaskan kasus tersebut.
"Hukum tak boleh tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Semua sama dihadapan hukum," ucap Siti Zuhro kepada Bisnis, Selasa (1/3/2016).
Peneliti senior LIPI tersebut menambahkan masalah pelanggaran hukum biarlah menjadi domain aparat penegak hukum. Jangan ditarik ke ranah politik, terlebih jika kasus pembelian lahan yang diduga merugikan negara senilai Rp191 miliar tersebut dihubung-hubungkan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
"Oleh karena itu, bila ada pejabat atau kepala daerah yang terbukti melanggar hukum dan ada fakta-fakta hukum yang menguatkan itu, tak ada keraguan lagi selain harus memprosesnya," kata dia lagi.
Siti Zuhro menyampaikan, menarik persoalan pembelaan lahan Sumber Waras ke ranah politik bisa jadi menjadi sarana untuk kampanye hitam. Tak hanya itu, membawa persoalan tersebut ke ranah politik juga bisa dimaknai salah satu pihak seolah-seolah distigmatisasi.
"Biarkan ini menjasi domain hukum. Jangan kaitkan kasus itu dengan rencana pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada DKI 2017," ucapnya.
Meski demikian, dia menganggap secara logika, kalau memang pengadaan lahan tersebut berjalan sesuai dengan prosedur, tidak akan ada laporan pelanggaran yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum menemukan indikasi dugaan korupsi terkait pengadaan lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW).
Komisioner KPK, Basaria Pandjaitan menyatakan karena belum menemukan indikasi tersebut, pihaknya sampai saat ini belum bisa menaikkan status pembelian lahan tersebut ke level penyidikan.
"Sangat sulit untuk menaikkan statusnya ke level penyidikan. Kami belum menemukan indikasi penyimpangan dalam pembelian lahan tersebut," ujar Basaria, Senin (29/2/2016) malam.
Selain persoalan tersebut, lembaga antirasuah tersebut juga mengaku belum memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menikkan status kasus tersebut ke level penyidikan. "KPK belum memiliki bukti yang cukup," kata dia lagi.
Basaria menambahkan, setiap kasus mempunyai tipikal yang yang berbeda. Sehingga KPK tidak bisa menyamakan penanganan kasus tersebut seperti kasus yang pernah ditangani sebelumnya. "Kami perlu mempelajari, karena perbedaan tipikal tersebut," imbuh dia.
Hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan terhadap laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan ada kejanggalan dalam pengadaan lahan tersebut.
BPK melihat, pengadaan lahan tersebut lebih mahal dari harga semestinya. Selain itu, akibat harga yang kemahalan itu, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp191 miliar dari total pembelian lahan senilai Rp800 miliar.
Meski demikian, saat disinggung perihal hasil audit BPK tersebut, Basaria kembali mengatakan KPK hingga saat ini belum memiliki alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status kasus tersebut ke level penyidikan. "Kami pelajari dulu ya," kata dia singkat," tukasnya.