Kabar24.com, JAKARTA - Langkah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, putri pertama Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menjadi Raja Ngayogyakarta, tidaklah mudah.
Pengamat kebudayaan Universitas Indonesia, Karsono Kardjo Saputra, menyatakan ada banyak tahapan yang harus dilewati GKR Pembayun untuk bisa menjadi putri mahkota.
Bahkan Pembayun belum pasti memperoleh takhta meski sudah berstatus putri mahkota.
"Yang menentukan penerus takhta itu wahyu, bukan keturunan atau darah biru," kata Karsono.
Dia mengemukakan keputusan Sultan mengubah nama Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram, tidak berarti suksesi pemimpin Keraton Yogyakarta sedang disiapkan.
Menurutnya, tidak ada undang-undang tertulis yang secara gamblang menentukan penerus takhta Raja Yogyakarta.
Di masyarakat tradisional, pemilihan raja atau sultan selanjutnya didasari wahyu atau legitimasi supranatural. Tapi, pada di masa sekarang, legitimasi melalui wahyu sangat sulit diterima.
Pembayun harus memiliki kekuatan di lingkup internal Keraton Yogyakarta untuk memimpin kerajaan tersebut.
Langkah Pembayun tentu akan sulit karena pengubahan namanya dalam sabda raja kedua saja memicu kontra dari anggota keluarga Sultan yang lain, terutama calon-calon raja potensial.
Hal ini terjadi meski sabda raja sendiri seharusnya bersifat perintah, yang harus dipatuhi seluruh anggota Kesultanan Yogyakarta.
Karsono menilai masyarakat Yogyakarta tak asing dengan sosok pemimpin wanita. Sejarah dan kebijakan lokal masyarakat Mataram mencatat sejumlah pemimpin wanita yang berpengaruh dalam perkembangan Kerajaan Yogyakarta.
"Tradisi secara tak tersurat mencatat tak ada masalah dengan pemimpin perempuan," katanya.