Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku siap ditahan seusai diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013.
"Tadi saya bilang saya akan ikuti semua proses hukum. Kalian (wartawan) menikmati sekali ya, tenang dulu saya akan memberikan keterangan," kata Suryadharma saat tiba di gedung KPK Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Suryadharma, yang datang mengenakan baju batik cokelat lengan panjang itu, didampingi oleh tim pengacaranya antara lain Humprey Djemat dan Andreas Nahot Silitonga.
Surya akhirnya memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka, setelah dua kali mangkir yaitu pada 10 Februari 2015 dengan alasan dirawat di RS MMC Jakarta dan pada 24 Februari dengan alasan sedang mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan.
Sebelumnya, KPK pun sudah pernah memanggil SDA pada 4 Februari 2015, namun surat panggilan tersebut salah karena menyebut SDA sebagai saksi.
"Saya telah mencari keadilan lewat praperadilan, tapi praperadilan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengadili status saya sebagai tersangka, jadi hakim menurut saya tidak memiliki keberanian. Saya sungguh kecewa," ungkap Suryadharma.
Ia mempertanyakan jumlah kerugian negara yang disangkakan kepadanya.
"Saya sudah dijadikan tersangka selama 10 bulan, tetapi sampai dengan hari ini belum ada kerugian negara yang secara jelas pasti, berapa jumlahnya ya? Menurut UU itu harus jelas. Pasti berapa jumlahnya, sampai dengan hari ini belum ada kan ya? Belum ada. Ada cuma perkiraan-perkiraan Rp1,8 triliun. Bagaimana caranya?" jelas Suryadharma.
Sehingga Suryadharma mengaku datang ke KPK untuk mencari keadilan.
"Nah itu dia makanya saya datang kemari untuk mencari keadilan itu, kita semuanya kan manusia ya kan? Manusia itu sifatnya salah, manusia mana yang tidak bersalah mana kala kita lihat sesuatu kemudian kita mau koreksi terus institusi apa yang bisa?" tambah Suryadharma.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu kemudian menjelaskan mengenai sisa kuota haji yang diduga KPK diselewengkan untuk keluarga dan kolega Suryadharma.
"Dari 211 ribu penyelenggara haji yang kita berangkatkan setiap tahun itu pasti ada yang meninggal dunia sebelum berangkat, hamil, sakit keras, tidak mampu melunasi atau ada tugas sehingga mereka tidak berangkat haji. Sisa itu diberikan kepada mereka di penghujung, tidak ada jamaah haji yang dirugikan," tutur Suryadharma.
Menurut Suryadharma, Indonesia mendapatkan kuoata 211 ribu, dari jumlah itu 194 ribu dikelola pemerintah, sedangkan 17 ribunya dikelola oleh haji khsusus, sehingga pemerintah Indonesia perlu menyediakan makan, akomodasi dan transportasi lokal bagi 194 ribu orang.
"Tapi realitasya kita cuma terserap sekitar 190 atau 192 ribu orang. Jadi selalu ada 'gap'. Dan itu kewenangan saya selaku menteri diberikan oleh UU," tegas Suryadharma.
Namun Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi belum memastikan penahanan Suryadharma.
"Benar ada panggilan SDA diperiksa sebagai tersangka, tapi belum ada informasi. Sampai pukul 11.00 WIB kami selaku Plt Pimpinan KPK belum menerima usulan dari penyidik apakah Pak SDA perlu dilakukan penahanan atau tidak yang pasti ada jadwal pemeriksaan SDA sebagai tersangka," kata Johan.
KPK dalam kasus ini menduga ada pelanggaran dalam beberapa pokok anggaran yaitu Badan Penyelenggara Ibadah Haji, pemondokan, hingga transportasi di jamaah haji di Arab Saudi yang mencapai Rp1 triliun pada 2012-2013.
Suryadharma Ali diduga mengajak keluarganya, unsur di luar keluarga, pejabat Kementerian Agama hingga anggota DPR untuk berhaji padahal kuota haji seharusnya diprioritaskan untuk masyarakat yang sudah mengantre selama bertahun-tahun.
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menjadi tersangka berdasarkan sangkaan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.