Bisnis.com, JAKARTA - Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan akan meraup US$45 miliar terkait rencana pembangunan pipa gas di bawah laut hitam ke Eropa.
Pada saat yang sama, Putin juga menyampaikan rencana lainnya, yakni rencana B bahwa Rusia akan membangun pipa gas ke Turki dan selanjutnya kapal tersebut akan mendarat di Yunani dan benua lainnya.
Namun, rencana B ini dinilai merupakan ide yang paling sedikit memiliki kesempatan untuk berhasil dibandingkan dengan rencana A.
“Ini [rencana B] hanya memperlihatkan bisnis,” ujar Necdet Pamir, spesialis energi dari Bilkent University di Ankara, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (9/12/2014).
Menurutnya, sebuah jaringan gas besar yang dibangun dari Rusia ke Turki untuk memasok gas ke pasar Eropa tidak realistis.
Dia menjelaskan semua hal yang dikombinasikan untuk memblokir proyek South Stream untuk mengambil gas di bawah Laut Hitam ke Bulgaria cenderung merusak rencana Turki-Yunani.
Tidak berubahnya permintaan gas di pasar Eropa membuat ekonomi menjadi tidak menarik. Di sisi lain, Uni Eropa tidak berminat membuat kerja sama dengan Rusia terkait dengan krisis Ukraina, dan wilayah ini mencari cara untuk bisa mengimpor gas dari negara lain di dunia.
Namun, rencana baru Rusia membangun pipa gas ke Turki berpeluang besar membawa gas lebih dari banyak dari yang dibutuhkan negara itu.
“Proyek ini sepenuhnya realistis,” ujar Putin di Ankara.
Turki, kendati menjadi negara jauh dari rencana pembangunan proyek ini, Menteri Energi Tanger Yildiz mengatakan negaranya tidak mau terjebak di antara Eropa dan Rusia.
“Waktu yang akan menunjukkan apakah proyek ini bisa atau tidak dilakukan,” ujar Yidiz.