Bisnis.com, BANDUNG—Rencana penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum 0-20 kilometer pertama oleh Pemprov Jabar belum solid sementara di wilayah tersebut sebanyak 8.311,80 hektar lahan sudah kritis.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Anang Sudarna mengatakan kerusakan sudah teridentifikasi seusai pihaknya bersama sejumlah dinas melakukan perjalanan darat menyusuri 7,7 kilometer di DAS Citarum 20 kilometer pertama.
“Kami memverifikasi langsung di lapangan, persoalannya banyak,” katanya di Bandung, Jumat (11/4/2014).
Persoalan itu antara lain kotoran hewan, pertanian, sanitasi, pembuangan limbah, instalasi pembuangan air limbah (IPAL) tak optimal, hingga alih fungsi lahan. Dari 5 desa, setidaknya lebih dari 1.000 lahan milik negara beralih fungsi lahan dari perkebunan dan hutan menjadi lahan tanaman sayur.
Data BPLHD Jabar mencatat di 0-20 kilometer pertama DAS Citarum di 5 kecamatan di Kabupaten Bandung, lahan kritis mencapai 8.311,80 hektar. Rinciannya untuk hutan konservasi kritis 1.117,68 hektar, sangat kritis 43 hektar. Hutan lindung kritis 3.638,91 hektar, dan sangat kritis 294,45 hektar. Hutan produksi sangat kritis 4,24 hektar.
Menurut Anang, lahan yang beralih fungsi untuk tanaman sayuran harus segera dicarikan solusinya. Untuk mengurangi erosi di kawasan ini dibutuhkan strategi tepat. Salah satunya eco-village atau desa ramah lingkungan. “Ada juga strategi pengendalian pencemaran dan pembinaan hukum.”
Lewat desa ramah lingkungan, masyarakat dituntut turut mengelola lingkungan dengan lebih berbudaya. BPLHD sudah menurunkan tim fasilitator dari komunitas dan aktifis lingkungan di desa-desa tertentu. “Ada 24 fasilitator kami rekrut untuk melatih masyarakat soal pertanian, sanitasi,” katanya.
Untuk industri yang berjumlah 71, pihaknya pun mulai melakukan pembinaan. Pihaknya menemukan 4 kasus yang dilakukan industri di wilayah Majalaya, antara lain industri memiliki IPAL tapi tidak dimanfaatkan secara optimal, tidak patuh aturan dan tidak melaporkan. “Mereka juga menggunakan batu bara sebagai bahan bakar yang limbahnya jelas B3,” katanya.
Sejauh ini sudah ada 7 industri yang ditangani dengan mendapat sanksi administrasi seperti teguran keras. Satu perusahaan sudah diajukan ke pengadilan karena terbukti membuang langsung limbah ke Citarum tanpa diolah. “Mereka perusahaan besar, punya IPAL tapi tidak mengolah, alasannya karena penghematan,” papar Anang.