Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang Pemilihan Umum 2014, media, khususnya televisi, mulai banyak dimanfaatkan sebagai ruang berkampanye politik beberapa tokoh dan elit partai di publik. Bahkan diantara mereka merupakan pemilik media itu.
Kondisi seperti inilah menimbulkan kekhawatiran di publik, tidak terjadinya penyampaian informasi berimbang.
Jika melihat gejala seperti ini, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Hal itu mengacu pada indikasi bahwa media massa saat ini hanya menjadi corong politik bagi para pemilik modal (pemilik media). Akibatnya, aspek jurnalistik yang benar, profesional, dan obyektif agak terpinggirkan.
Terkait dengan hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah meminta media memberikan ruang sosialisasi yang sama bagi semua kandidat Pilpres mendatang. Harapan Presiden SBY ini bukanlah tanpa alasan, tujuannya agar pers tetap pada fungsinya sebagai media pendidikan bagi masyarakat secara profesional, berimbang, dan sesuai fakta yang terjadi.
Kita memang tidak bisa melarang dan menyalahkan para pemilik media masuk ke ranah politik, karena itu hak asasi mereka. Namun kita juga tidak bisa membiarkan begitu saja jika mereka menyalahgunakan media yang mereka miliki. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang baik, bukan informasi yang dipaksakan oleh pemilik media untuk membentuk realitas opini masyarakat.
Pelaksanaan Pemilu 2014 adalah ujian independensi dan kredibilitas bagi media maupun jurnalis dalam menerapkan jurnalisme politiknya. Independen dari otoritas politik, sosial, bisnis, dan pribadi.
Namun, fakta menunjukkan media belum mampu menjadi kekuatan kontrol atas proses politik nasional yang berlangsung bahkan terjebak menjadi corong kepentingan kekuatan elit politik dan mengabaikan fungsi media pendidikan pemilih.
Teddy Sanjaya
Jalan Lapangan II/140, Batu Ampar
Jakarta Timur