Bisnis.com, JAKARTA—Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus berani melawan DPR yang selama ini mengunci implementasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan konstitusi yang telah diberikan kepada lembaga tersebut.
Demikian dikemukakan pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis dalam diskusi bertema “9 Tahun Kiprah DPD RI” bersama Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhammad Qodari dan Ketua DPD, Irman Gusman di Gedung DPD, Rabu (2/9/2013).
“DPD harus berani melawan DPR RI. Jangan menjadi anak mama atau anak manis seperti selama ini. Kalau tidak, maka putusan MK itu tak memberi dampak apapun terhadap keadilan politik kekuasaan,” ujarnya. Menurutnya, dalam kondisi demikian tidak saja DPR yang senang, pemerintah juga senang dengan eksistensi DPD seperti sekarang ini.
Menurutnya, untuk terwujudnya sistem bikameral (dua kamar) yang sama-sama kuat antara DPD dan DPR, seharusnya putusan itu bisa dilaksanakan. Sebagaimana diketahui, pasca putusan MK maka DPD punya wewenang dalam pembahasan program legislasi, perimbangan keuangan pusat dan daerah serta dalam pemekaran daerah.
Margarito mengatakan bentuk perlawanan itu bisa dilakukan dengan tidak ikut membahas dan tidak memberi pertimbangan selain menolak hasil pembahasan DPR soal APBN. Dengan penolakan itu maka produk perundang-undangan DPR cacat prosedural sekaligus tidak sah, ujarnya.
Sementara itu, Irman Gusman sendiri mengaku DPD sudah kerja keras dan dalam 9 tahun ini sudah menghasilkan 418 keputusan. Hanya saja belum bisa mengimplementasikan putusan MK, 27 Maret 2013 karena sampai saat ini belum bisa melaksanakan rapat tiga lembaga (tripartit) antara DPR, Presiden dan DPD.
“Padahal, kalau tripartit itu bisa dilaksanakan dengan baik, maka terjadi reformasi parlemen yang luas biasa,” ungkapnya. Irman berharap DPR bisa menghormati hasil kerja DPD berikut putusan MK tersebut.
Irman berharap DPR bisa menghormati hasil kerja DPD berikut putusan MK tersebut. Sebab, kalau tidak, akan banyak produk prundang-undangan yang berakhir di MK dan cacat prosedur akibat tak melibatkan DPD.
“Kalau hal itu dibiarkan, maka sangat berbahaya. Tapi, DPD menyerahkan semuanya itu ke elit politik, jika menginginkan perbaikan sistem ketatanegaraan,” ujarnya.