Bisnis.com, PEKANBARU - Untuk memenuhi standar produk minyak sawit atau CPO (crude palm oil) di pasar Internasional, semua pelaku industri perkebunan kelapa sawit Riau harus besertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada akhir 2014.
Zulher Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau mengatakan sektor perkebunan sawit penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi Riau dan melibatkan sekitar 980.605 kepala keluarga (KK) petani.
Zulher mengasumsikan, jika 1 KK meliputi 4 orang, maka 3,9 juta orang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. Artinya, jumlah ini 70% dari 5,5 juta jiwa penduduk di Provinsi Riau.
"Jika dihantam isu negatif terus, dan harganya jatuh, bisa gawat perekonomian masyarakat Riau," katanya dalam seminar gabungan pengusaha kelapa sawit (Gapki) Riau bertajuk Tantangan Menuju Industri Minyak Sawit Lestari, Rabu (26/9/2013) di Hotel Grad Elite.
Sebagai informasi, Riau memiliki kebun sawit seluas 2.258.553 Ha atau 26,25% dari total luas sawit nasional sekitar 8 juta Ha.
Dari total luas kebun sawit di Riau, 53% atau 1.205.498 Ha kebun sawit rakyat, sedangkan 905.979 Ha atau sekitar 43% milik swasta dan milik perkebunan sawit perusahaan besar negara sekitar 79.545 Ha atau 4% dari total seluruh kebun sawit di Riau.
Zulher juga mengatakan ibarat primadona, minyak sawit Indonesia banyak yang mencari namun banyak pula yang membenci. Cina, India, Pakistan, Asia Timur termasuk yang mencari sedangkan Uni Eropa dan Amerika Serikat termasuk yang membenci.
"Jelas mereka benci, karena produktifitas minyak sawit mengalahkan minyak nabati yang diproduksi Uni Eropa dan AS seperti minyak kedelai, bunga matahari dan lainya," katanya.
Gencarnya kampanye hitam yang dilakukan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, katanya, harus dijadikan tantangan dan pengembangan industri kelapa sawit yang lestari merupakan keharusan bukan pilihan.
"Makanya sejak ISPO 2011, di Riau tahun 2013 sudah ada tiga yang ISPO, akhir 2014 semua ditargetkan ISPO," katanya.