Bisnis.com, JAKARTA—Pengadilan seharusnya menolak permohonan banding putusan praperadilan yang diajukan oleh penyidik karena Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa penyidik dan penuntut umum tidak bisa mengajukan upaya hukum tersebut.
"Seharusnya pengadilan menolaknya [permohonan banding putusan praperadilan]," kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana, Selasa (24/9/2013).
Dia mengatakan jika pengadilan mengabulkan permohonan banding itu, penegak hukum tidak memahami makna hukum acara. "Selama penegak hukum tidak mampu memahami makna hukum acara, ya sudah ke laut saja hukum di negara ini," ujarnya.
Ganjar menegaskan penegakkan hukum di Indonesia menjadi ‘jungkir balik’ karena polisi dan kejaksaan salah memahami Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Bayangkan saja polisi dan jaksa salah memahami hukum, maka wajar saja negara ini jungkir balik penegakan hukumnya," katanya.
Dia menambahkan ketentuan hukum acara itu adalah hukum tentang tata cara. Artinya, yang diatur di KUHAP adalah tata cara yang diperkenankan, kalau tidak diatur bukan berarti boleh.
"Jika di KUHAP [jaksa dan penyidik tidak boleh banding dalam praperadilan], berarti tidak memungkinkan mengajukannya," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik serta penuntut umum mengajukan banding putusan praperadilan.
Putusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh anggota polisi, Tjetje Iskandar, yang menguji Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang dinilai diskriminatif.
Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”.
Adapun ayat (2) menyatakan: “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi.”
Atas pengecualian ini, MK melalui Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 1 Mei 2012 menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
Dengan adanya putusan MK tersebut di atas, maka demi hukum tidak ada lagi upaya hukum apapun atas putusan praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan.
Namun faktanya pada 17 Juni 2013, Pengadilan Tinggi Medan mengabulkan banding putusan praperadilan penghentian penyidikan tindak pidana memperdagangkan dan penggunaan merek orang lain tanpa seizin pemilik merek yang sah barang jenis Larutan Penyegar Lukisan Badak dan tulisan Cap Badak, oleh Polri.
Padahal di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Medan pada 17 Mei 2013 menyatakan bahwa penghentian penyidikan oleh kepolisian melalui SP.Sidik/21.a/III/2013/Ditreskrimsus terhadap peristiwa tindak pidana memperdagangkan dan/atau menggunakan merek orang lain tanpa seizin pemilik merek yang sah untuk barang jenis Larutan Penyegar Lukisan Badak dan tulisan Cap Badak, adalah tidak sah.