Bisnis.com, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol Djoko Susilo belum menjadi putusan monumental.
"Kalau konstruksi hukumnya oke, tapi sanksinya belum mengakomodasi tuntutan jaksa penuntut umum," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, di Gedung KPK Jakarta, Selasa (3/8/2013) malam.
Bambang mengatakan konstruksi hukum yang dibangun Majelis Hakim Tipikor Jakarta mengakomodasi konstruksi hukum KPK dan berdasarkan fakta di persidangan.
"Putusan ini menarik karena rumusan dakwaan mengintegrasikan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang," kata Bambang.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan itu mengatakan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dipakai sebagai konstruksi hukum bukan hanya UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melainkan juga UU No. 15 tahun 2002 juncto UU No 25 tahun 2003 tentang TPPU.
"Ini yang paling menarik. Dengan demikian, keputusan itu bisa menjadi model putusan karena mengintegrasikan dua undang-undang dan mengintegrasikan undang-undang yang sekarang dan undang-undang yang sebelumnya," paparnya.
KPK, lanjut Bambang, akan menggunakan waktu tujuh hari untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan apakah akan mengajukan banding atau tidak mengajukan banding atas keputusan sidang Terdakwa kasus korupsi pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua dan empat tahun anggaran 2011 itu.
"Tuntutan yang juga tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah hukuman tambahan. Pada titik inilah KPK harus mendidiskusikanya. Sanksi yang diputuskan oleh Hakim masih bisa diperdebatkan," tegasnya.
Majelis Hakim Tipikor Jakarta memvonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp500 subsider enam bulan kurungan kepada Djoko Susilo karena telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp32 miliar dengan subsider 5 tahun kurungan Djoko tidak lagi memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik (Antara)