BISNIS.COM, JAKARTA-Perjuangan panjang nan melelahkan itu akhirnya berbuah hasil. Di tempat yang berjarak kurang lebih 800 kilometer dari area luapan lumpur Lapindo, sang pengadil menetapkan tanah beberapa warga Sidoarjo harus dihargai sepantasnya.
Sekalipun menang, para penggugat masih pikir-pikir untuk mengajukan banding lantaran gugatan ganti rugi tidak dikabulkan. Pengadilan hanya memerintahkan pemerintah membayar tanah sebagai tanah darat seharga Rp1 juta per meter persegi.
Putuan itu dibacakan pada 17 April lalu oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian,” kata ketua majelis hakim Amin Sutikno.
“Kami masih pikir-pikir untuk mengajukan banding,” kata kuasa hukum warga, Amiruddin Aburaera, Jumat (26/4/2013). Amiruddin adalah kuasa hukum dari lima gugatan warga yang disidangkan secara bersama-sama dengan majelis hakim yang sama.
Selain ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang tak dikabulkan, ada ukuran tanah warga yang berubah dalam putusan. Namun, Amiruddin menyerahkan keputusan untuk banding atau tidak kepada kliennya.
Salah satu gugatan itu diajukan Mutma'inah dan kelima saudaranya dengan nomor 249/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. Mereka baru mendapat secercah kepastian setelah 5 tahun tanahnya diserahkan kepada pemerintah.
Mutma'inah dan saudaranya adalah ahli waris tanah pekarangan milik almarhum Mustakin dengan luas 8.100 M2 di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Tanah itu masuk dalam wilayah penanganan luapan lumpur oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Tanah yang sudah jadi kolam lumpur itu diserahkan kepada pemerintah pada September 2008, namun hingga kini pembayarannya belum dilaksanakan.
Pemerintah seharusnya sudah membayar 20% pada akhir tahun 2008 dan 80% sisanya pada Oktober 2010. Akibat permainan oknum tim verifikasi BPLS, permasalahan berbuntut panjang.
Berbagai upaya negosisasi dan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tak mempan. Akhirnya, mereka mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum lewat PN Jakarta Pusat.
Gugatan itu masuk ke panitera pada 30 Mei 2012 bersama empat gugatan lainnya dengan masalah yang sama, perubahan status tanah dari tanah darat menjadi tanah sawah. Sasarannya tak main-main.
Presiden RI didudukkan sebagai tergugat I, Menteri Pekerjaan Umum sebagai tergugat II dalam perannya sebagai Ketua Dewan Pengarah BPLS. Adapaun Kepala BPLS duduk sebagai tergugat III.
“Tergugat berpendapat bahwa tanah penggugat adalah tanah sawah. Sebenarnya pendapat tergugat dilatarbelakangi oleh adanya permintaan fee dari oknum Tim Verifikasi Badan Pelaksana BPLS,” kata Amiruddin.
Dalam gugatan 8 halaman itu Mutma'inah cs ingin harga yang diberikan sesuai dengan realitas lapangan dan bukti-bukti formal yang ada, yakni harga tanah darat dan bukan tanah sawah.
Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat pada 29 Agustus 2008, harga per meter persegi tanah darat/pekarangan adalah Rp1 juta. Karena tak mau memberikan fee 30% kepada oknum BPLS, akhirnya tanah itu hanya dihargai Rp250.000 per meter persegi.
Sempat negosiasi beberapa kali, namun tetap menemukan jalan buntu. Pada 2010 kasus status tanah diputus oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo yang menetapkannya sebagai tanah darat. Sayangnya BPLS masih ngotot sehingga perkara ini dibawa di Jakarta.
Presiden RI lewat pengacara negara sempat minta putusan sela karena mengnggap gugatan tak seharusnya diajukan ke peradilan umum karena terkait dengan kebijakan pejabat pemerintah.
Akan tetapi, majelis hakim menilai bahwa gugatan bukan soal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 tahun 2007 tentang BPLS, melainkan soal pelaksanaannya yang menyimpang. Sehingga persidangan dilanjutkan hingga putusan akhir.
Dalam putusan akhir Presiden RI dinyatakan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, hanya tergugat II dan tergugat III yang terbukti.
Meski dalil perbuatan melawan hukum terbukti, majelis hakim tidak mengabulkan ganti rugi materil Rp3,2 miliar kepada Mutma'inah dan kelima saudara kandungnya.
Selain gugatan Mutma'inah cs, pengadilan juga menjatuhkan vonis yang sama perkara perdata nomor 246 dengan penggugat Musriah, 247 dengan penggugat Maruwah, 248 dengan penggugat Thoyib Bahri, dan 250 dengan penggugat Abdurrosim.
Bencana lumpur Lapindo sendiri merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006.
Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian wilayah itu.