“BAPAK Sudiro Andi Wiguno, tidak hadir,” kata Djawoto Jowono yang mengabsen kreditur. Sejenak ruangan sidang itu hening lalu diikuti bisik-bisik dari deretan kursi pengunjung Jumat (10/3/2013) pagi.
Sudiro, ditemukan tewas di kediamannya Rabu 23 Januari 2013, masih tercatat sebagai kreditur dengan tagihan Rp29,25 miliar ke PT Daya Mandiri Resources Indonesia dan Rp3,47 miliar ke PT Dayaindo Resources International Tbk.
Karena itulah Djawoto, pengurus DMRI (dahulu bernama PT Risna Karya Wardhana Mandiri) dan Dayaindo yang berada dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), tetap memanggil nama almarhum.
Posisi Sudiro sendiri unik, di satu sisi sebagai kreditur dan di sisi lain adalah wakil perusahaan (debitur) dalam proses PKPU. Sempat diprotes karena menimbulkan conflict of interest, akhirnya pengurus tetap memasukkannya sebagai kreditur.
Sesuai rencana perdamaian, utang kedua perusahaan kepada Sudiro yang menjabat sebagai Direktur Utama Dayaindo dan Komisaris DMRI akan dibayarkan dalam 20 tahun. Uang tak akan masuk kantong pria kelahiran Blora yang tewas dalam usia 35 tahun itu.
Tanpa kehadiran Sudiro dan hanya menyisakan satu direktur, Firmus Marcelinus Kudadiri, Dayaindo melunak. Akhirnya Jumat lalu seluruh kreditur yang hadir menyatakan setuju atas rencana perdamaian yang diajukan debitur.
Kini, tanpa kehadiran Sudiro, DMRI dan Dayaindo tinggal menanti 15 Maret, tanggal majelis hakim dijadwalkan untuk mengesahkan composition plan menjadi perdamaian atau homologasi.
Keras
Mantan Wakil Bendahara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu memang keras. Keputusannya yang ngotot agar para kreditur melakukan voting atas rencana perdamaian pada 15 Januari hampir menjerumuskan DMRI dan Dayaindo dalam status pailit.
Padahal, Sudiro bisa saja memilih opsi minta PKPU tetap dari status sebelumnya yang sementara. Jika masuk tahap PKPU tetap maka debitur punya tambahan waktu bernegosiasi dengan kreditur. “Kami ingin segera dapat bekerja,” kilahnya kala itu.
Dalam pemungutan suara PT Bank Internasional Indonesia Tbk selaku mayoritas kreditur separatis menolak proposal damai. Ganjalan Pasal 281 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU membayangi perusahaan.
Pada 16 Januari majelis hakim yang bersidang minta agar debitur memenuhi kewajibannya kepada BII sebesar Rp93,33 miliar dalam 2 minggu agar tak dinyatakan pailit.
Apabila pembayaran ke BII dilaksanakan maka tinggal menyisakan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebagai kreditur separatis dengan tagihan Rp26,92 miliar. Bank pelat merah itu berpihak ke debitur dengan menyatakan setuju atas rencana perdamaian.
Berat? Jelas saja, pasalnya penolakan BII atas rencana perdamaian karena debitur tak sanggup membayar Rp15 miliar sebelum perdamaian diteken para pihak.
Sebelum habis masa 2 minggu, pada 23 Januari Sudiro Andi Wiguno ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Polisi menyebut ada tanda-tanda seperti pada kasus bunuh diri.
“Bapak Sudiro orang yang punya visi ke depan, entah bagaiamana beliau mendahului kita,” kenang Akhmad Rosidin yang duduk sebagai hakim pengawas. Rosidin memimpin keheningan setengah menit di ujung PKPU yang berakhir damai itu.
Sikap kerasnya juga ditunjukkan Sudiro ketika Desember lalu dia menolak kehadiran dua kreditur asing, SUEK AG dan Bulk Trading SA. Alasannya, tagihan kedua kreditur itu bermasalah dan tengah dilaporkan ke polisi.
SUEK dan Bulk Trading
Sudiro dan kedua kreditur asing itu memang seperti tak pernah akur, bahkan setelah kematiannya yang tragis. Masalah kegagalan jual-beli batu bara berujung sengketa dan hilang kepercayaan.
Persoalan dengan SUEK AG menghasilkan tiga putusan arbitrase London, sementara dengan Bulk Trading penyelesaiannya di lembaga arbitrase Singapura. Semuanya menyatakan DMRI dan Dayaindo kalah.
Belakangan Sudiro bersedia memasukkan SUEK dan Bulk Trading ke dalam proposal damai yang dibuat dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu seolah jejak Sudiro yang masih ada hingga revisi terakhir.
Tak hadirnya SUEK dan Bulk Trading pada rapat terakhir memuluskan rencana. SUEK sendiri telah mundur dari proses PKPU karena menilai proses hukumnya cacat dan tak terima dengan tawaran debitur.
Sementara itu, Bulk Trading tak memiliki hak suara lantaran terlambat melengkapi surat-surat yang dibutuhkan dalam pengajuan tagihan.
Bulk Trading sempat melayangkan protes keras dan minta PKPU tetap dihentikan karena pada voting pertama 15 Januari syarat adanya perdamaian tak terpenuhi sehingga debitur harus dinyatakan pailit.
Protes tak digubris. Pada 30 Januari majelis hakim yang diketuai Agus Iskandar mengabulkan permintaan debitur agar ditetapkan untuk PKPU tetap dan disetujui secara aklamasi oleh para kreditur yang hadir.
BII
Meski tak ada lagi ujung tombak dalam negosiasi dengan BII, akhirnya DMRI dan Dayaindo mendapatkan persetujuan. Kuasa hukum BII, Swandy Halim, mangatakan telah ada janji debitur untuk membayar down payment Rp15 miliar sebelum hakim mengesahkan perdamaian.
“Sejak awal DP ini sangat penting,” ujar Swandy. Jika tidak ada pembayaran sebelum homologasi, debitur bisa dinyatakan default atau gagal bayar dengan konsekuensi pailit.
Piutang BII sendiri hanya kepada DMRI. Namun, posisi Dayaindo sebagai penjamin pinjaman menyeret perusahaan yang melantai ke bursa dengan kode KARK dalam lingkaran PKPU.
Entah apa yang akan dikatakan Sudiro seandainya dia masih duduk di ruang sidang itu, yang jelas 15 Maret ini majelis pemutus akan mengetok rencana perdamaian jadi homologasi. Semoga damai juga untuk alm. Sudiro Andi Wiguno.