JAKARTA--Kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan kaum minoritas agama dinilai sebagai olok-olok atas klaim Indonesia sebagai negara demokratis. Kelompok minoritas bahkan sering disalahkan oleh para pejabat sehingga membenarkan kekerasan yang dilakukan kaum radikal.
Hal itu disampaikan dalam laporan Human Rights Watch (HRW) yang berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia. HRW menyoroti soal kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi kelompok minoritas agama.
Laporan sebanyak 120 halaman itu merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan serangan rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Sasaran mereka, demikian HRW, termasuk Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah.
"Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan, tentu saja, merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia," kata Brad Adams, Direktur Asia HRW dalam acara peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Kamis (28/02/2013). "Presiden Yudhoyono perlu berkeras bahwa hukum harus ditegakkan, harus mengumumkan bahwa setiap pelaku kekerasan akan diadili, serta menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama."
HRW melakukan riset di sepuluh provinsi di Jawa, Madura, Sumatra, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara dan aktivis masyarakat sipil.
Adams menyatakan pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru menyalahkan korban minoritas sedangkan para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum. Dalam dua kasus, lanjutnya, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama namun ada juga —termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali— yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Organisasi militan Islamis, termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi. Laporan itu menyatakan mereka memberikan pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-Muslim, serta “sesat” kepada kalangan Muslim yang tak sama dengan mereka.
Di sisi lain, Adams memaparkan, pejabat pemerintah dan keamanan sering memfasilitasi pelecehan dan intimidasi terhadap kaum minoritas oleh organisasi militan. Ini termasuk membuat pernyataan diskriminatif yang telanjang, menolak mengeluarkan izin bangunan untuk rumah ibadah kaum minoritas agama, dan mendesak jemaat minoritas untuk relokasi.