Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Rizal Ramli mengatakan kebijakan impor beras dari Kementerian Perdagangan di tengah ketersediaan beras di dalam negeri merupakan akibat dari hebatnya permainan kartel produk pangan yang selalu menempel di pemerintahan.
Menurutnya, akibat kuatnya pengaruh dari para pencari rente ekonomi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tidak berkutik menghadapi tekanan impor.
“Kebijakan impor muncul di saat musim panen. Ini sistem yang kejam sekali. Para kartel menguasai seluruh komoditas terkait kebijakan impor yang muncul ini,” ujar Rizal dalam diskusi bertajuk “Polemik Impor Beras” bersama Anggota Komisi VI DPR Ramdhani dari Fraksi Nasdem, Kamis (20/9/2018).
Bahkan, mantan menko perekonomian itu menyebut praktik yang dilakukan para kartel itu seharusnya tergolong subversif.
Menurut Rizal, kalau mau jalan pemerintahan menjadi benar dan posisi Presiden Jokowi mendapat dukungan rakyat, maka pemerintah harus membenahi sistem kartel tersebut.
Meski tidak menyebut berapa nilai rente yang diraup para pelaku kartel itu, mantan kepala Bulog tersebut mengatakan nilainya sangat luar biasa, bahkan bisa membeli sejumlah stasiun televisi nasional.
“Jokowi pidato akan hapus kartel mafia, tapi begitu Pak Jokowi berkuasa orang-orangnya ditempel,” ujarnya.
Sistem Kuota Impor
Rizal mengusulkan agar pemerintah menghapus sistem kuota impor yang selama ini menyuburkan praktik kartel. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah memberlakukan sistem tarif dalam impor bahan pangan agar tidak membuat negara merugi.
Namun, tampaknya pemerintah sampai sekarang tidak mau mengubah sistem itu. Padahal, jika sejak dulu pemerintah mau melakukan perubahan dalam hal impor, Indonesia bakal diuntungkan.
Indonesia berada dalam kungkungan kartel di mana mereka kerap memainkan harga harga, katanya. Rizal menceritakan modus permainan kartel tersebut.
Kartel dan Pasar
Rizal menegaskan struktur pasar di Indonesia diciptakan oleh kartel. Saat lagi panen, mereka menurunkan harga impor sehingga harga petani jatuh. Begitu tidak panen, harga kembali dinaikkan.
“Inilah yang membuat harga-harga pangan dari petani menjadi jatuh. Begitu tidak panen, harga kembali digenjot naik. Jadi petani tidak untung malah buntung. Konsumen menjadi sangat dirugikan. Ini terjadi di banyak komoditas pangan. Kami minta pemerintah benahi sistem kartel ini,” ujarnya.
Rizal mencontohkan perbedaan harga beras di Thailand yang hanya Rp6.000 dan sekitar Rp7.000 ketika sampai di Indonesia. Sedangkan di dalam negeri harga beras Rp10.000 per liter.
Sementara itu, Hamdani mengatakan masih ada persoalan teknologi dalam pengelolaan gabah yang harus dibenahi di dalam negeri. Dia mencontohkan stok beras yang terlalu lama mengakibatkan warnanya berubah sehingga tidak layak untuk dijual ke pasar.
Namun demikian, dia sependapat dengan Rizal bahwa perlu pembenahan tata kelola pangan nasional dengan menyikat pelaku kartel impor pangan. Hamdhani juga mengatakan DPR akan segera memanggil pihak terkait ke DPR untuk mempertanyakan kebijakan impor beras tersebut.
“Kami akan mengundang dan mempertanyakan hasil rapat Menko Perekonomian dan menteri terkait sehingga soal impor beras tidak menjadi polemik berkepanjangan,” katanya.