Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saat Kebijakan Ekonomi Kapitalis jadi Alasan Pemberat Hukuman 4,5 Tahun Tom Lembong

Tom Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara karena kebijakan impor gula yang dianggap kapitalis, mengabaikan ekonomi Pancasila, dan merugikan negara.
Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong usai sidang vonis di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025)/Bisnis-Anshary Madya Sukma
Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong usai sidang vonis di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025)/Bisnis-Anshary Madya Sukma

Bisnis.com, JAKARTA - Majelis Hakim menyatakan kebijakan ekonomi yang dikedepankan oleh Tom Lembong menjadi salah satu pemberat vonis pada kasus korupsi impor gula.

Adapun, Majelis Hakim telah menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 4,5 tahun kepada mantan Menteri Perdagangan itu atas perkara korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag). 

Berdasarkan amar putusan Majelis Hakim yang dibacakan, Jumat (18/7/2025), terdapat sejumlah hal memberatkan dan meringankan hukuman terhadap Tom. Salah satu hal memberatkan menurut Majelis Hakim adalah kebijakan impor gula yang disetujui oleh Tom saat menjadi Menteri Perdagangan (Mendag).

Menurut Majelis Hakim, kebijakan yang dikedepankan oleh Tom adalah kebijakan ekonomi kapitalis.

"Terdakwa saat membuat kebijakan importasi gula terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibanding sistem demokrasi dan sistem ekonomi Pancasila," ujar Hakim Anggota Alfis Setyawan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.

Di sisi lain, Tom juga dinyatakan tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan azas kepastian hukum. Mendag Kabinet Kerja selama 2015-2016 itu juga disebut tidak melaksanakan tugas secara akuntabel serta bertanggungjawab, bermanfaat, dan adil dalam pengendalian stabilitas harga gula yang murah dan terjangkau bagi masyarakat.

"Terdakwa telah mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen akhir atas gula kristal putih untuk mendapatkannya dengan harga yang stabil dan terjangkau," tutur Hakim Alfis.

Meski demikian, ada juga hal yang meringankan hukuman terhadap Tom yaitu belum pernah dihukum, tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan serta bersikap sopan dan tidak mempersulit jalannya persidangan.

"Telah adanya penitipan sejumlah uang kepada Kejaksaan Agung saat penyidikan sebagai pengganti kerugian negara," lanjut Hakim Alfis.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat lalu menyatakan Tom terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan yakni melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

"Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan serta denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 6 bulan," bunyi amar putusan yang dibacakan Hakim Ketua Dennie Arsan.

Putusan hakim itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 7 tahun. Sementara itu, hukuman terhadap mantan Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI, Charles Sitorus yakni 4 tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan jaksa.

KERUGIAN NEGARA TERBUKTI LEBIH RENDAH

Di sisi lain, nilai kerugian keuangan negara akibat importasi gula itu tidak terbukti secara keseluruhan dari sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa. Menurut Majelis Hakim, fakta hukum di persidangan menunjukkan hanya sebesar Rp194,7 miliar dari total dakwaan Rp578 miliar yang terbukti terjadi.  

Majelis Hakim menuturkan, kerugian keuangan negara sebesar Rp194.718.181.818,19 didasari atas perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT PPI. 

"Telah pula mengakibatkan kerugian keuangan negara in casu PT PPI (Persero). Harusnya adalah bagian keuntungan yang diterima oleh PT PPI (Persero)," ujar Hakim Alfis.

Sementara itu, kerugian keuangan negara sebesar Rp320.690.559.152,17 yang merupakan selisih pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) antara gula kristal putih (GKP) dan gula kristal mentah (GKM) selama periode Agustus 2015-Juli 2016 dinyatakan tidak ditemukan fakta hukumnya di persidangan.

Majelis Hakim menjelaskan, tidak ditemukan ditemukan fakta hukum di persidangan bahwa nilai transaksi antara GKP dan GKM adalah sama. Sehingga, terhadap nilai cost, insurance dan freight (CIF) atau biaya, asuransi dan pengapalan atas impor antara GKP dan GKM tidak bisa dipastikan memiliki nilai yang sama.

Hal itu menjadi penting, terang Hakim, karena CIF menjadi dasar menghitung bea masuk dikalikan tarif impor, termasuk menghitung PDRI yang dikalikan 10% untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan 2,5% untuk Pajak Penghasilan (PPh). 

Untuk itu, penghitungan selisih pembayaran bea masuk dan PDRI GKP dengan GKM sejumlah Rp320,69 miliar, dinyatakan merupakan perhitungan yang belum nyata dan pasti benar-benar terjadi. Nilai itu juga disebut belum dapat dihitung secara jelas dan terukur atau diukur secara pasti. 

"Maka penghitungan sejumlah Rp320,69 miliar tidak dapat dinyatakan sebagai jumlah kerugian keuangan negara," terang Hakim. 

BAKAL BANDING?

Pada persidangan tersebut, Tom menyatakan masih akan berunding dengan tim penasihat hukumnya atas langkah hukum selanjutnya. Belum ada keputusan secara langsung apabila akan dilakukan upaya banding terhadap hukuman 4,5 tahun penjara itu. 

Tom menilai bahwa dalam putusan yang dibacakan, Majelis Hakim menyatakan dirinya melanggar aturan dalam menyetujui kegiatan impor gula kendati tidak adanya niat jahat atau mens rea. Dia menuding para Majelis Hakim hanya mengikuti surat tuntutan jaksa. 

"Ya mungkin ketiga, saya menyesalkan bahwa, kalau saya lihat, vonisnya majelis, itu kembali lagi, seperti copy-paste, copas dari tuntutan penuntut. Ya sekali lagi boleh dibilang mengabaikan hampir semua fakta persidangan, terutama keterangan para saksi dan ahli," tuturnya usai persidangan. 

Menurut Ari Yusuf Amir, tim kuasa hukum Tom, Majelis Hakim tidak melihat fakta-fakta hukum di persidangan khususnya keterangan dari saksi fakta maupun ahli. Khususnya, terkait dengan pelanggaran kebijakan yang dilakukan oleh Tom. 

Ari menilai putusan Majelis Hakim terhadap kliennya berpotensi membahayakan para pejabat pemerintahan dalam mengambil suatu kebijakan. 

"Ketika 5-10 tahun mendatang, mereka mengambil kebijakan-kebijakan saat ini, maka mereka siap-siap akan terkena perkara korupsi," tuturnya.

Adapun mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, selaku teman Tom, menyatakan bakal mendukung langkah hukum yang akan dilakukan tim penasihat hukum ke depannya. 

"Apapun langkah yang akan diambil oleh Tom Lembong untuk mencari keadilan kami akan dukung sepenuhnya," tutur pria yang juga mantan calon presiden pada Pilpres 2024 lalu. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Muhammad Ridwan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro