Bisnis.com, JAKARTA — Dunia tengah menantikan siapa yang akan menjadi pemimpin Gereja Katolik berikutnya setelah wafatnya Paus Fransiskus. Dengan 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia, pemilihan Paus bukan hanya penting bagi Gereja, tetapi juga berdampak global.
Dikutip melalui BBC pada Rabu (23/4/2025), proses konklaf para kardinal akan segera dimulai di Kapel Sistina, Vatikan. Para kardinal akan bermusyawarah dan memberikan suara hingga satu nama memperoleh suara mayoritas.
Uniknya, 80% dari para kardinal pemilih merupakan penunjukan Paus Fransiskus sendiri—membuka peluang besar bagi pilihan yang berorientasi global dan inklusif.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kurang dari separuh pemilih berasal dari Eropa. Para kandidat juga tidak dapat dikategorikan secara sederhana sebagai “progresif” atau “konservatif”. Inilah yang membuat konklaf kali ini begitu tak terduga.
Tak ada kandidat dominan, tak ada kutub ideologis yang mencolok. Dengan dominasi penunjukan Fransiskus dan berkurangnya hegemoni Eropa, pilihan bisa jatuh pada siapa saja—Asia, Afrika, atau bahkan wajah baru dari Amerika Latin atau Amerika Utara.
Satu hal yang pasti: pilihan ini akan menentukan arah Gereja Katolik untuk beberapa dekade ke depan.
Baca Juga
Profil 4 Kardinal Calon Kuat Pengganti Paus Fransiskus
1. Pietro Parolin: Diplomat Senior Vatikan (Italia)
Berusia 70 tahun, Kardinal asal Italia ini menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan—secara de facto menjadi penasihat utama Paus. Dia dianggap sebagai tokoh utama yang mengedepankan pendekatan diplomatik dan pandangan global ketimbang dogma.
Namun, rekam jejak Parolin juga memuat kontroversi. Dia menentang legalisasi pernikahan sesama jenis, menyebut hasil referendum di Irlandia tahun 2015 sebagai “kekalahan bagi kemanusiaan”.
Meski berasal dari Italia—negara asal 213 dari 266 Paus sepanjang sejarah—pergeseran kekuasaan gereja dari Eropa membuat peluangnya tak sekuat masa lalu.
2. Luis Antonio Tagle: Harapan dari Asia (Filipina)
Kardinal Tagle (67), asal Filipina, dijuluki sebagai "Fransiskus dari Asia" karena komitmennya terhadap isu sosial dan migrasi. Dia berasal dari negara dengan mayoritas Katolik terbesar di Asia, dan memiliki pengalaman pastoral yang mendalam.
Meskipun memegang pandangan konservatif terhadap isu aborsi dan euthanasia, ia pernah menyerukan agar Gereja bersikap lebih welas asih terhadap kelompok seperti penyintas perceraian, ibu tunggal, dan kaum LGBT. Seruan ini sempat menggema pada masa kepemimpinannya sebagai Uskup Agung Manila tahun 2015.
3. Fridolin Ambongo Besungu: Suara dari Afrika Tengah (Kongo)
Berusia 65 tahun, Kardinal Ambongo dari Republik Demokratik Kongo dinilai sebagai representasi kuat dari Gereja Afrika yang terus bertumbuh. Dia dikenal tegas menolak pernikahan sesama jenis, namun terbuka pada pluralisme agama.
Dalam konteks negara yang menghadapi kekerasan dan konflik sektarian, kehadirannya mencerminkan keberanian Gereja dalam merawat iman di tengah tantangan. Namun, sebagian pihak mempertanyakan sejauh mana dia siap untuk menjalankan visi global Gereja Katolik.
4. Peter Turkson: Kandidat Lama (Ghana)
Kardinal Turkson (76) telah disebut-sebut sebagai kandidat paus sejak 2013. Dikenal luas karena gaya komunikatif dan latar belakang unik—pernah menjadi gitaris band funk—dia menyuarakan konservatisme moral khas Afrika.
Namun, Peter Turkson juga menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi kaum LGBT.
Dia mengkritik pendekatan statistik dalam memilih Paus, menekankan bahwa pemilihan hendaknya dilandasi panggilan spiritual, bukan sekadar angka.