Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU TNI Tinggal Selangkah Lagi, Sinyal 'Oposisi' di DPR Mati Suri?

Lolosnya pembahasan RUU penuh kontroversi di DPR, salah satunya RUU TNI, memicu pertanyaan besar tentang peran check and balance di lembaga legislatif.
Raker pembicaraan tingkat I RUU TNI yang dihadiri Komisi I DPR RI, Menkum, Wamenkeu, Wamenhan, dan Wamensesneg, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara
Raker pembicaraan tingkat I RUU TNI yang dihadiri Komisi I DPR RI, Menkum, Wamenkeu, Wamenhan, dan Wamensesneg, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara

Bisnis.com, JAKARTA — Pembahasan Rancangan amandemen Undang-undang TNI alias RUU TNI nyaris tanpa hambatan. Mayoritas fraksi setuju untuk membawa RUU tersebut ke paripurna, termasuk PDI Perjuangan (PDIP), satu-satunya partai parlemen yang di luar pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Menariknya, alih-alih berperan sebagai oposan, politikus PDIP seperti Utut Adiyanto, justru menjadi sosok penting dalam proses amandemen UU TNI. Utut bahkan menjadi Ketua Panitia Kerja. Dia pula yang mengetok palu untuk membawa UU TNI ke pembicaraan tingkat II di rapat Paripurna. 

"Apakah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat kita setujui untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi Undang-Undang?” tanya Utut dan dijawab setuju oleh para anggota rapat.

Sikap PDIP dalam RUU TNI merupakan anomali dalam peta politik di DPR RI. Saat ini, tidak ada satupun partai yang secara terbuka menyatakan diri sebagai partai di luar pemerintahan. Akibatnya, upaya check and balance tidak optimal lantaran, mayoritas partai yang berada di parlemen merupakan pendukung pemerintahan. 

Ketiadaan proses cek ricek kebijakan pemerintah itu berpengaruh terhadap proses legislasi yang berlangsung di DPR. Undang-undang yang penuh kontroversi mulai dari UU Minerba, UU BUMN hingga yang terakhir UU TNI, melaju nyaris tanpa pertentangan. Semua lancar dari awal pembahasan hingga akhirnya disahkan pimpinan DPR lewat rapat paripurna.

Ketua DPP PDIP Puan Maharani berdalih bahwa partisipasi partainya dalam panitia kerja (Panja) revisi UU TNI dimaksudkan untuk memastikan rancangan beleid tersebut benar-benar dibahas dengan sebaik-baiknya.

“Kehadiran PDI justru untuk meluruskan jika kemudian ada hal-hal yang kemudian tidak sesuai dengan apa yang kemudian kami anggap itu tidak sesuai."

Di sisi lain, RUU TNI, sejatinya memuat sejumlah substansi yang berpotensi bertentangan dengan cita-cita reformasi TNI yang lahir tahun 2004 lalu. Ada semangat untuk menghapus dwifungsi ABRI yang sebelumnya menjadi simbol 'penaklukan' tentara terhadap supremasi sipil. Tentara kembali ke barak dan menjadikan mereka sebagai pasukan yang profesional.

Namun dalam proses pelaksanaannya, tentara tidak pernah lepas dari cawe-cawe kehidupan sipil. Tentara masuk ke ranah sipil. Pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ada sosok Mayor Teddy Indra Wijaya yang kini berpangkat letnan kolonel. Dia menjabat sebagai sekretaris kabinet. 

Menariknya, untuk memastikan Letkol Teddy tidak menabrak aturan, pemerintah mengubah nomenklatur Setkab. Setkab yang sebelumnya berperan sebagai lembaga negara sekelas menteri, dibubarkan, perannya dilebur ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Presiden No.139/2024. 

Perubahan nomenklatur itu diperkuat dengan Perpres No.148/2024, di dalam beleid itu secara tegas disebutkan bahwa Setkab berada di bawah Sekretaris Militer Presiden alias Setmilpres. Artinya, Letkol Teddy lolos dari tudingan melanggar Pasal 47 UU TNI existing.

Sekadar catatan, pasal 47 UU TNI, mengatur prajurit atau siapapun yang berasal dari rumpun militer hanya bisa menduduki jabatan sipil jika mengundurkan diri atau memasuki masa purna tugas dari dinas kemiliteran.

Kendati demikian, beleid tentang TNI juga memberikan relaksasi, bahwa prajurit TNI tetap bisa menduduki jabatan sipil namun terbatas.

Jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif antara lain pejabat di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

"Seharusnya di situ kalau berdasarkan [Perpres], itu tidak harus mundur [dari TNI]. Enggak [melanggar UU TNI lama], kan di Setmilpres sudah ada tentara emang. Setmilpres kan tentara," kata Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak.

Tambahan 'Lapak' Buat Tentara

Terlepas dari polemik tentara yang aktif di jabatan sipil saat ini, amandemen UU TNI memberikan banyak peluang kepada tentara untuk masuk ke institusi-institusi non-militer. Ada 15 institusi atau bertambah menjadi 5 yang bisa dimasuki oleh tentara. 

Dalam catatan Bisnis, semula dalam naskah hasil pembahasan, pemerintah mengusulkan tiga tambahan tugas militer TNI di luar perang. Pertama, TNI memiliki tugas untuk membantu menanggulangi ancaman siber. 

Kedua, TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri. Ketiga, TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika. Namun soal yang ketiga ini poinnya sudah ditiadakan. 

Presiden Prabowo Subianto saat menginspeksi pasukan./Istimewa
Presiden Prabowo Subianto saat menginspeksi pasukan./Istimewa

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas  berdalih revisi UU TNI ini diperlukan agar ada penguatan terhadap tugas dan fungsi TNI, karena TNI dinilai sebagai kekuatan utama dalam pertahanan negara.

“Selain itu untuk mendukung optimalisasi pencapaian tugas dan fungsi kementerian lembaga dalam mencapai tujuan negara, prajurit Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan kehususannya dapat memberikan kontribusinya,” ungkap dia.

Meski demikian, anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menyatakan pihaknya belum bisa memastikan apakah revisi UU TNI ini dibawa ke Rapat Paripurna pada Kamis (20/3/2025) besok atau tidak, karena juga bertepatan dengan reses.

“Mungkin dalam waktu dekat, kalau ada Paripurna baru nanti dibawa ke tingkat II. Saya belum tahu [hari Kamis atau tidak], karena konon diundur satu minggu ya,” tuturnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025).

Protes Revisi UU TNI

Sorotan publik terhadap revisi UU TNI terjadi ketika Komisi I DPR RI melakukan rapat dengan Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoeddin pada Selasa 11 Maret 2025. Menhan waktu itu, memaparkan dokumen usulan daftar kementerian/lembaga (K/L) yang dapat diisi prajurut TNI aktif.

Dalam materi yang disampaikannya, pada Pasal 47 diusulkan ada 15 K/L yang dapat diduduki prajurit TNI aktif. Usulan ini artinya menambahkan lima pos K/L yang dapat diduduki TNI aktif karena di UU sebelumnya hanya dibolehkan dalam 10 K/L. Di luar 15 K/L itu, Sjafrie menekankan TNI aktif itu harus pensiun dari dunia militer.

Hal tersebutlah yang paling ramai disoroti oleh kalangan masyarakat sipil. Dikhawatirkan dengan adanya perluasan jabatan-jabatan sipil itu berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti sebelum era reformasi, menandakan lonceng supremasi sipil telah berbunyi.

Protes publik berkecamuk. Sejumlah aktivis menggerebek tempat konsinyering RUU TNI di salah satu hotel mewah di Jakarta. Mereka menyatakan keberatan terhadap rencana pemerintah dan DPR. Perubahan UU TNI dinilai akan mengebiri supremasi sipil dan berpotensi mengkhianati reformasi yang digaungkan tahun 1998 lalu.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Panja RUU TNI./JIBI-Annisa Nurul Amara
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Panja RUU TNI./JIBI-Annisa Nurul Amara

Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada atau UGM, misalnya, mereka mengeluarkan pernyataan bersama untuk memprotes proses pembahasan amandemen undang-undang UU TNI.

Para pengajar hingga mahasiswa bahkan meminta agar DPR membatalkan pembahasan amandemen UU tersebut yang dinilai tidak transparan ke publik.

"Tentara Nasional Indonesia-TNI dan ketentuan yang mengaturnya, harus tunduk pada konstitusi," ujar para civitas akademika kampus Bulaksumur itu dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Selasa (18/3/2025). 

Mereka turut mengingatkan bahwa keutamaan prinsip itu menjadi bagian dari semangat Reformasi 1998 dan tertuang pada TAP MPR No.10/1998, TAP MPR No.6/1999 serta TAP MPR No.7/2000. 

Di sisi lain, mereka turut menyinggung pelanggaran hukum yang dilakukan militer harus tunduk di bawah sistem hukum pidana sipil. Para akademisi UGM menilai hal tersebut mendasar dan tidak pernah diupayakam secara sungguh-sungguh. 

Konsekuensinya, TNI akan banyak melakukan kesewenang-wenangan serta tanpa dimintai pertanggungjawaban hukum alias impunitas. Oleh sebab itu, urgensi membahas revisi UU TNI pun dinilai nihil. "Selama ada sistem hukum impunitas terhadap TNI, maka pembicaraan apapun tentang peran TNI menjadi tak relevan dan tak pernah bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI."


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper