Bisnis.com, JAKARTA - Donald Trump resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan memicu banyak kekhawatiran, tentang masa depan tatanan global yang belakangan ini telah dicabik-cabik oleh konflik di Timur Tengah, perang Rusia-Ukraina, hingga ketegangan di Laut China Selatan.
Trump berasal Partai Republik. Dia dikenal sangat konservatif dan kerap dipersepsikan sebagai politikus sayap kanan. Trump, misalnya, sangat agresif menerapkan kebijakan-kebijakan populis dan proteksionis. Bagi Trump, Amerika Serikat adalah segalanya, ini sesuai dengan retorikanya selama kampanye: America First! America Great Again!
Perhatian besar Trump terhadap isu Amerika itu tercermin dari kebijakan-kebijakan populis yang memicu kontroversi. Suami Melanija Knavs alias Melania Trump itu telah secara terang-terangan menabrak semua konsesus global yang dinilai merugikan AS. Dia tidak segan mengenakan tarif tinggi dan mengeluarkan ancaman bagi negara manapun yang telah maupun berpotensi merugikan kepentingan AS.
Menariknya, gertakan Trump juga bukan isapan jempol semata. Pasalnya, tidak sampai sehari usai dilantik sebagai presiden menggantikan Joe Biden, Trump langsung mengeluarkan kebijakan yang bikin geleng-geleng kepala. Trump, misalnya, secara terbuka memulai menabuh genderang perang tarif. Kali ini bukan hanya China, tetapi tetangganya, Kanada yang diancam dengan tarif sebesar 25%.
"Kami berpikir dalam hal tarif 25% terhadap Meksiko dan Kanada, karena mereka mengizinkan banyak orang. Saya pikir kami akan melakukannya pada tanggal 1 Februari," ujar Trump.
Baca Juga
Ancang-ancang perang tarif yang dilakukan Trump itu mengingatkan kepada peristiwa serupa 6 sampai 7 tahun lalu. Saat itu, Trump menjabat presiden untuk periode 1. Perang tarif terjadi antara China dan AS. Trump memberlakukan tarif tinggi terhadap produk China. China membalasnya. Hanya saja, korban dari perang dagang antara AS dan China, tidak hanya keduanya negara. Tetapi tatanan ekonomi dan global pada waktu itu.
Terjadi relokasi industri besar-besaran. Perusahaan AS keluar China. Vietnam ketiban berkah. Di sisi lain, supply chain atau rantai pasok global juga terganggu. Kondisi itu memicu Bank Dunia maupun Dana Moneter International, memangkas proyeksi ekonomi pada tahun 2018-2019. Alhasil, banyak negara yang tumbuh di luar ekspektasi, Indonesia, misalnya, pada tahun itu hanya tumbuh di kisaran 5,17%.
Selain potensi pecahnya trade war jilid 2, kebijakan lain Trump yang memutuskan keluar dari WHO dan menarik diri dari Paris Agreement juga memicu ketidakpastian mengenai konsesus yang telah dicapai sebelumnya.
Suka tidak suka, AS adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Komitmen AS dalam aksi kerja sama global untuk mengatasi perubahan iklim sangat diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat celcius.
Namun, penarikan diri AS dalam konsesus tersebut, memunculkan spekulasi mengenai masa depan upaya mengatasi perubahan iklim, termasuk langkah sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon demi tujuan tersebut.
Kebijakan Tidak Adil
Trump sendiri berpendapat bahwa Perjanjian Paris tidak adil bagi AS. AS memiliki industri kendaraan bermotor yang cukup maju. Hanya saja, mereka tertinggal dalam proses elektrifikasi dibandingkan dengan China dan Eropa.
"Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kami sendiri sementara China mencemari lingkungan tanpa hukuman," jelas Trump.
Langkah Trump itu juga sejalan dengan kebijakannya untuk menghentikan kewajiban adaptasi kendaraan listrik demi menyelamatkan industri AS.
"Kita akan mengakhiri kesepakatan baru yang ramah lingkungan dan kita akan mencabut mandat kendaraan listrik, menyelamatkan industri kita sendiri dan menepati janji suci saya kepada para pekerja industri otomotif Amerika yang hebat," ujar Trump.
Trump menilai bahwa mandat kendaraan listrik tidak mendukung industri otomotif AS yang memproduksi kendaraan-kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, pencabutan mandat tersebut akan berpengaruh positif bagi industri, tenaga kerja, dan perekonomian AS.
Selain pencabutan mandat kendaraan listrik, Trump juga akan mendorong produksi serta penggunaan minyak dan gas. Dia berkaca pada kondisi inflasi tinggi yang dipicu oleh dua persoalan utama. Pertama, pengeluaran yang berlebihan. Kedua, kenaikan harga energi.
"Itulah mengapa saya juga menetapkan Darurat Energi Nasional, we will drill, baby, drill, [mengebor]," ujar Trump.
Konsesus Pajak Digital
Di sisi lain, kepemimpinan Trump juga berpotensi mengacaukan upaya negara-negara OECD untuk mencapai konsesus global terkait pemajakan perusahaan multinational terutama over the top yang didominasi dari AS.
Apalagi, Trump telah secara terbuka mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa AS tidak akan meratifikasi kesepakatan dari solusi 2 Pilar Pajak Global.
Padahal, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah sepakat untuk menerapkan dua pilar pajak global itu bersama Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Dalam bagian pertama memorandum tersebut, Trump meminta menteri keuangan dan perwakilan tetap Amerika Serikat (AS) di OECD untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut.
"Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat sehubungan dengan Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan atau pengaruh di Amerika Serikat tanpa adanya tindakan oleh Kongres yang mengadopsi ketentuan-ketentuan yang relevan dari Kesepakatan Pajak Global," ujar Trump seperti tercantum di laman resmi White House, dikutip pada Selasa (21/1/2025).
Menteri Keuangan dan Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) akan mengambil semua langkah tambahan yang diperlukan sesuai dengan kewenangannya untuk mengimplementasikan temuan-temuan dari memorandum ini.
Trump menilai bahwa kesepakatan pajak global OECD yang didukung oleh pemerintahan sebelumnya memungkinkan yurisdiksi lain memajaki penghasilan dari AS ekstrateritorial atas pendapatan Amerika.
Alhasil, kebijakan tersebut membatasi kemampuan AS untuk memberlakukan kebijakan pajak yang melayani kepentingan bisnis dan pekerja AS. Bagi Trump, memorandum itu juga menjadi momen dalam merebut kembali kedaulatan dan daya saing ekonomi AS.
Adapun untuk melindungi kepentingan bisnis dan pekerja AS dari tindakan pajak yang diskriminatif, Trump menginstruksikan menteri keuangan dan USTR menyelidiki kebijakan pajak di negara lain yang tidak mematuhi peraturan pajak dengan AS.
Bahkan, Trump meminta penyelidikan terkait negara-negara yang akan memberlakukan pajak yang akan berdampak pada perusahaan-perusahaan AS.
Untuk itu, Trump ingin menteri keuangannya untuk membuat daftar langkah yang mungkin diambil untuk melindungi perusahaan dan pekerja AS sebagai tanggapan atas ketidakpatuhan atau aturan pajak tersebut.
“Menteri Keuangan akan menyampaikan temuan dan rekomendasi kepada Presiden, melalui Asisten Presiden untuk Kebijakan Ekonomi, dalam waktu 60 hari,” tulisnya.
Sebagai informasi, satu per satu negara-negara yang tergabung dalam OECD mengimplementasi kebijakan dua pilar pajak global, termasuk Indonesia yang baru saja resmi menerapkan Pilar 2 yaitu pajak minimum global 15% per 1 Januari 2025.
Solusi dua pilar adalah kebijakan perpajakan internasional yang bertujuan untuk mengatasi tantangan perpajakan yang dihadapi pemerintah dan perusahaan multinasional. Solusi ini terdiri dari dua pilar, yaitu Pilar 1 dan Pilar 2.
Di mana Pilar 1 memungkinkan suatu negara mengalokasikan kembali sebagian laba perusahaan multinasional ke negara tempat mereka menjual produk dan layanan. Sementara Pilar 2 terkait penerapan pajak minimum global sebesar 15% atas laba perusahaan global beromzet minimal 750 juta euro.
Sri Mulyani Pasrah
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, penolakan Presiden AS Donald Trump atas penerapan dua pilar pajak global akan berdampak ke negara-negara lain termasuk Indonesia.
Sri Mulyani menjelaskan Indonesia akan menghormati segala keputusan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Trump termasuk soal keputusan kebijakan penolakan atas penerapan dua pilar pajak global.
"Namun karena Amerika adalah negara terbesar di dunia, pasti bisa berdampak ke seluruhnya," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (24/1/2025).
Kendati demikian, Sri Mulyani tidak menjelaskan apakah keputusan Trump itu akan berdampak ke kemampuan pemerintah Indonesia memungut pajak dari perusahaan multinasional asal AS—meskipun Indonesia sudah menerapkan pajak minimum global 15% sesuai PMK No. 136/2024.
Pemerintah Indonesia, sambungnya, hanya bisa terus memantau dinamika yang terjadi akibat berbagai keputusan yang dikeluarkan pemerintah baru AS. Dia menegaskan pemerintahan akan terus berusaha memperkuat fundamental ekonomi.
"Kita terus memperbaiki dan memperkuat resilien dari perekonomian kita," jelas Sri Mulyani.