Bisnis.com, JAKARTA - Hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China masih diwarnai pandangan negatif, kecurigaan, kehati-hatian, dan kekhawatiran di kalangan sebagian kelompok elite dan masyarakat Indonesia.
Indonesia dinilai tidak mungkin meninggalkan prinsip netralitasnya, kemudian semakin condong ke China dengan mempertaruhkan kedaulatan Indonesia, yang secara luas mencakup pula hak berdaulat dan kemandirian bangsa. Isu kedaulatan adalah sebuah isu sensitif yang dapat memicu gelombang nasionalisme dalam masyarakat Indonesia.
Pandangan di atas disampaikan oleh Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto dalam pernyataan penutup pada seminar berjudul “Dancing with the Dragon? Indonesian and Malaysian Policies toward China,” yang diselenggarakan bersama oleh FSI, Paramadina Public Policy Institute (PPPI), dan sebuah think tank asal Malaysia, Bait Al Amanah, pada di Universitas Paramadina, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Kamis, (16/1/2025).
Dalam pernyataan tersebut, Johanes yang juga dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan ini berpandangan bahwa Indonesia bukan hanya telah menjaga jarak baik dengan China dan Barat, melainkan juga telah memperlihatkan kemampuan dan kesiapan untuk bertindak tegas terhadap potensi pelanggaran kedaulatan.
Tindakan tegas unsur Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia terhadap unsur Penjaga Pantai China yang menerobos masuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia pada November 2024 yang lalu adalah salah satu contoh yang jelas.
Sementara itu, penggantian drone buatan China dengan drone buatan Turki untuk menjaga wilayah Indonesia di Kepulauan Natuna dinilai sebagai sebuah langkah yang tepat yang memperlihatkan upaya Indonesia menjaga dan mempertahankan kedaulatannya di tengah meningkatnya sikap asertif dan agresif China di Laut China Selatan.
Baca Juga
Johanes juga berpandangan bahwa sama seperti Indonesia, Malaysia pun memperlihatkan kesiapannya untuk melakukan tindakan tegas terhadap negara mana pun yang melanggar kedaulatannya.
Merujuk pada tulisan pakar Hubungan Internasional ternama asal Malaysia, Profesor Cheng-Chwee Kuik, Johanes menceritakan bagaimana pada tahun 2021 Malaysia pernah mengerahkan pesawat tempurnya untuk menghalau pesawat-pesawat Angkatan Udara China yang terbang mendekati wilayah Malaysia di Serawak.
Professor Cheng-Chwee Kuik, Profesor Hubungan Internasional dari National University of Malaysia (UKM), yang hadir sebagai pembicara utama dalam seminar di atas, membicarakan 3 hal yang menggambarkan dinamika yang kompleks dalam politik luar negeri Malaysia terhadap China dan seperangkat hubungan kekuasaan asimetrik lainnya antara negara-negara ASEAN secara individual dengan sang raksasa Asia.
Ketiga hal tersebut adalah pragmatisme ekonomi, engagement, dan equidistance (upaya menjaga jarak yang sama). Menurutnya, pragmatisme ekonomi merupakan pilar utama dalam hubungan Malaysia dan China, dan telah hadir sebelum kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada 1974.
Sejak 2009 hingga saat ini, China telah menjadi partner dagang yang sangat besar, salah satu investor terbesar, dan salah satu mitra terbesar dalam pembangunan infrastaruktur bagi Malaysia, khususnya setelah dicanangkannya inisiatif sabuk dan jalan (BRI, the Belt and Road Initiative).
“Hubungan ekonomi ini secara umum bersifat saling menguntungkan dan produktif,” tuturnya.
Selain pragmatisme ekonomi, engagement juga telah menjadi pilar utama bagi hubungan Malaysia-China, khususnya sejak awal tahun 1990-an, melalui saluran diplomatik bilateral dan platform multilateral.
Ini terlihat dari terbentuknya dan berkembangnya ASEAN Plus Three (1997), Pertemuan Tinggi Asia Timur (2005), dan mekanisme lain terkait ASEAN. Dalam tahun-tahun belakangan, engagement juga dilaksanakan dalam bentuk partisipasi dalam institusi yang dipromosikan oleh China, seperti Asian Infratructure Investment Bank (AIIB) dan BRICS+.
Sementara itu, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam PhD yang juga merupakan Doktor Ilmu Politik berpandangan bahwa China bukan hanya menghadirkan banyak kesempatan, tetapi juga tantangan, termasuk tekanan dan ancaman.
Oleh karenanya, Umam menjuluki hubungan Indonesia dengan China sebagai pedang bermata dua. “China menerapkan apa yang dinamakan sebagai strategi ofensif yang mempesona (charming offensive strategy), tetapi dalam waktu yang tak terduga, China dapat mengubahnya menjadi strategi ofensif yang menghidupkan lonceng tanda bahaya (alarming offensive strategy),” tutur Umam.
Oleh sebab itu, ia mengimbau agar Indonesia menavigasi hubungannya dengan China secara hati-hati. Secara khusus, Umam mengggarisbawahi pentingnya kehati-hatian itu diterapkan dalam isu terkait ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, di mana China seringkali melakukan manuver.