Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Israel mencatat belanja perang sepanjang 2024 sebesar 99,9 miliar Israeli New Shekel (NIS). Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka itu naik 301% dari sepanjang 2023.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Israel, belanja perang di 2024 tercatat sebesar 99,9 miliar NIS atau lebih tinggi dari 2023 sebesar 24,9 miliar NIS. Apabila diakumulasi, belanja perang Israel sejak serangan balasan 7 Oktober 2023 lalu mencapai 124,7 miliar NIS.
Akumulasi belanja perang sejak meletusnya serangan 7 Oktober dari Hamas itu meliputi 102,2 miliar NIS untuk belanja pertahanan. Sebanyak 99,1 miliar NIS di antaranya secara langsung untuk membiayai militer Israel.
Kemudian, sebesar 22,6 miliar NIS untuk belanja terkait dengan masyarakat sipil dan 18,5 miliar NIS untuk biaya kompensasi.
Adapun belanja perang Israel sepanjang 2024 mendorong pertumbuhan belanja pemerintahan Benyamin Netanyahu tumbuh secara keseluruhan hingga 20,4%, dari periode 2023. Total belanja pemerintah Israel 2024 itu yakni 621,2 miliar NIS.
Itu berbanding terbalik dengan penerimaan negara, termasuk pajak, yakni 485 miliar NIS. Penerimaan itu tumbuh 10,5% dari 2023 lalu. Gap antara belanja dan penerimaan Israel sepanjang tahun lalu mendorong defisit 6,9% terhadap PDB.
Baca Juga
Agresi militer Israel selama 15 bulan itu telah memakan korban nyawa sebanyak 46.584 warga Palestina. Dilansir Al-Jazeera, serangan balasan Israel ke Gaza akibat 7 Oktober 2023 turut menyebabkan 109.731 orang Palestina luka-luka.
Saat Hamas melancarkan serangan ke Israel, sebanyak 1.139 orang Israel meninggal dunia dan 200 orang ditawan.
PROPOSAL GENCATAN SENJATA DI DEPAN MATA
Seiring dengan berlanjutnya serangan militer Israel di Gaza dan sekitarnya, pihak mediator dari Qatar telah mengirimkan proposal gencatan senjata masing-masing ke Israel dan Hamas. Proposal yang diajukan yakni untuk menghentikan serangan dan pertukaran tawanan warga Israel oleh Hamas dengan warga Palestina yang ditahan.
Dilansir dari Reuters, terobosan proposal gencatan senjata itu dikabarkan tercapai di Doha, Qatar dan kesepakatan antara kedua belah pihak diperkirakan bisa tercapai.
Di antara poin-poin proposal gencatan senjata itu adalah pengembalian warga Israel yang ditawan oleh kelompok Hamas. Pada tahap pertama, 33 orang tawanan akan dibebaskan. Mereka meliputi tentara perempuan, laki-laki berumur 50 tahun ke atas, korban luka-luka dan sakit.
Pihak Israel yang memberi tahu Reuters menyebut sebagian besar dari tawanan Hamas itu hidup, namun belum ada konfirmasi resmi dari Hamas.
Apabila tahap pertama berjalan lancar, pada hari ke-16 kesepakatan itu tercapai, maka akan dilanjutkan dengan pengembalian sisa tawanan yakni tentara laki-laki dan pria dengan umur prajurit. Mayat dari tawanan yang sudah meninggal dunia juga akan dikembalikan.
Adapun kesepakatan dari pihak Israel akan berlangsung dalam beberapa fase. Namun, tentara negara itu akan tetap berada di batas wilayah perkotaan dan pedesaan Israel.
Tentara Israel juga akan mundur dari sebagian wilayah di koridor Philadelphi serta ujung Selatan Gaza. Penduduk Gaza yang tak bersenjata akan diperbolehkan kembali, dan tentara Israel akan mundur dari koridor Netzarim di Gaza tengah.
Sementara itu, kelompok militan Palestina yang dinyatakan bersalah dalam pembunuhan dan serangan mematikan juga akan dibebaskan. Namun, jumlahnya akan tergantung dengan jumlah tawanan Hamas yang masih hidup.
Meski demikian, para tahanan tersebut tidak akan dilepaskan ke Tepi Barat. Tahanan kelompok Hamas yang terlibat dalam serangan 7 Oktober 2023 tidak akan dilepaskan.
Dari segi bantuan, Israel akan memperbolehkan masuknya bantuan ke Jalur Gaza dengan peningkatan jumlah yang signifikan.
Terkait dengan masa depan Gaza, para pihak belum sampai ke pembahasan siapa yang memerintah di wilayah tersebut. Israel menegaskan bahwa Hamas dan Otoritas Palestina atau Palestinian Authority (PA) tidak boleh mengendalikan Gaza. Mereka menegaskan bahwa akan mempertahankan kendali bahkan setelah selesainya pertarungan.
Sementara itu, komunitas internasional menegaskan bahwa pemerintahan di Gaza harus dijalankan oleh bangsa Palestina kendati belum ditemukan faksi mana yang akan diberi mandat.
Kendati demikian, ada pembahasan yang berlangsung di antara Israel, Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat (AS) terkait dengan pemerintahan sementara untuk Gaza di bawah pengawasan sampai setelah adanya reformasi di tubuh PA.