Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah diminta memperketat pengawasan terhadap industri pertambangan, usai lima korporasi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyematkan status tersangka kepada lima korporasi. Lima perusahaan yang menjadi tersangka baru dalam perkara tindak pidana korupsi timah diantaranya, PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.
Pengamat Kebijakan Hukum Kehutanan Dan Konservasi asal Universitas Indonesia (UI) Budi Riyanto mengatakan, kelima pemain di industri pertambangan Tanah Air memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga selama beroperasi mendapat pengawasan dari otoritas.
Dia meragukan sikap Kejagung yang menjadikan kelima korporasi sebagai tersangka dalam korupsi komoditas timah. Apalagi, dasar penetapan tersangka hanya mengacu pada potensi nilai kerusakan lingkungan yang dianggap sebagai kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun.
“Pertanyaannya, siapa sih yang harus bertanggung jawab ini? Jangan terus pemerintah lepas tangan begitu saja, tetapi dia sebagai regulator pengawas. Apalagi dari korporasi itu kan ada izin. Ada izin yang masih hidup, berarti ada pengawasan,” ujarnya, Jumat (3/1/2025).
Selain itu, lanjutnya, nilai kerugian keuangan negara yang dimaksud belum dapat dibuktikan di pengadilan.
Baca Juga
Menurutnya, masalah kerusakan lingkungan punya parameter dan harus dihitung secara holistik. Diperlukan perhitungan yang matang secara komprehensif oleh scientific authority.
Ahli di bidang hukum pertambangan Abrar Saleng memandang bahwa Kejagung terkesan mempersoalkan aktivitas perusahaan tambang yang secara resmi mengantongi izin usaha pertambangan (IUP).
Menurutnya, perusahaan yang telah memperoleh IUP punya tanggung jawab terhadap lingkungan atau kawasan yang diekploitasi. Hal inipun bisa diawasi oleh pemerintah.
“Justru penambang-penambang yang punya izin yang dipersoalkan. Justru yang ilegal nggak dipersoalkan. Padahal yang ilegal itu, itu tidak, tidak ada, tidak ada tanggung jawab lingkungannya,
Tidak ada tanggung kewajibannya juga pada negara,” ungkapnya.
Abrar menjelaskan, kasus pertambangan jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan pidana.
Jika terjadi tindak pidana dalam perusahaan penambangan, maka selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM, bukan lembaga lain atau didasarkan pada hitungan ahli lingkungan.
“Kalau khusus dunia pertambangan diragukan atau perhitungan ahli karena orang tambang juga bisa menghitung kerugian lingkungan, bukan cuma orang pertanian,” ujarnya.