Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol berjanji untuk tidak menyerah setelah parlemen negara tersebut melakukan pemungutan suara dan setuju untuk memakzulkannya pada Sabtu (14/12/2024).
Hasil pemungutan suara tersebut menyebabkan Yoon berada di ambang penggulingan setelah kisruh penerapan darurat militer yang mengejutkan para warga Korsel.
"Meskipun mungkin saya harus berhenti untuk saat ini, perjalanan menuju masa depan yang telah saya lalui bersama masyarakat selama dua setengah tahun terakhir tidak boleh terhenti," kata Yoon dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir Bloomberg, Sabtu (14/12/2024).
Sebagai informasi, dari 300 anggota parlemen, 204 anggota setuju untuk memakzulkan presiden. Jumlah ini melebihi dari 2/3 suara yang dibutuhkan.
Pemungutan suara kali ini merupakan upaya kedua untuk memakzulkan Yoon, setelah pada 3 Desember 2024 mendeklarasikan darurat militer, yang menjadi pertama kali sejak Korsel menjadi negara demokrasi hampir 40 tahun lalu.
Meskipun Yoon membatalkan darurat militer 6 jam setelahnya, atau usai para anggota dewan menuju Gedung Majelis Nasional dan menolak keputusan tersebut, tindakannya mengguncang pasar dan memicu kemarahan di seluruh negeri.
"Saya akan menerima semua kritik, dorongan, dan dukungan yang ditujukan kepada saya dan melakukan yang terbaik bagi negara ini hingga akhir," imbuh Yoon.
Yoon akan diberhentikan sementara dari tugasnya dan Perdana Menteri Han Duck-soo diperkirakan akan bertindak sebagai pemimpin sementara hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan mosi pemakzulan dalam waktu 180 hari. Jika MK menyetujui pemecatannya, pemilihan presiden awal akan diadakan dalam waktu 60 hari.
Pada prinsipnya, setidaknya tujuh hakim di pengadilan harus bersidang untuk mempertimbangkan pemakzulan, dengan minimal enam hakim diperlukan untuk setuju.
Namun, pengadilan saat ini hanya memiliki enam hakim, karena tiga kursi masih kosong. Seorang pejabat pengadilan mengatakan mereka masih dapat melanjutkan peninjauan, tetapi tidak jelas apakah mereka dapat memberikan keputusan akhir dalam keadaan ini.
“Negara mitra ekonomi internasional tidak menyukai ketidakpastian dan mitra diplomatik akan mengingat ketidakstabilan ini,” kata Leif-Eric Easley, seorang profesor di Universitas Ewha di Seoul. “Namun, demokrasi Korea Selatan berhasil sambil memberikan pelajaran peringatan bagi negara lain,” lanjutnya.