Bisnis.com, JAKARTA - China menolak klaim maritim Filipina yang dituangkan dalam sebuah undang-undang baru. China menilai undang-undang tersebut “sangat melanggar” kedaulatan dan hak teritorial Beijing di Laut China Selatan, dan berjanji untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menandatangani dua undang-undang pada pekan lalu untuk mendefinisikan hak maritim negaranya dan menetapkan jalur laut dan rute udara untuk memperkuat kedaulatan.
“China dengan tegas menentang hal ini dan akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum untuk secara tegas mempertahankan kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritim China,” kata Kementerian Luar Negeri China dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters pada Senin (11/11/2024).
Pernyataan China mendefinisikan garis dasar “perairan teritorial” di sekitar Beting Scarborough, yang diklaim China sebagai wilayahnya dan disebut Pulau Huangyan. Kawasan dangkalan ini merupakan titik utama pertikaian mengenai kedaulatan dan hak penangkapan ikan.
China telah memberlakukan undang-undang domestik yang mencakup Laut Cina Selatan, seperti undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021 yang mengizinkan negara tersebut untuk menahan orang asing yang dicurigai melakukan pelanggaran.
Dengan armada kapal penjaga pantai yang menegaskan klaimnya, Beijing secara rutin menuduh kapal-kapal tersebut melakukan pelanggaran di wilayah Laut Cina Selatan yang termasuk dalam zona ekonomi eksklusif negara tetangganya, dan telah berulang kali bentrok dengan Filipina pada tahun lalu.
Baca Juga
Sementara itu, Penjaga pantai China mengeluarkan pernyataan pada Minggu (10/11/2024) yang mengatakan bahwa Filipina sering mengirim kapal perang dan pesawat militer dan polisi untuk “menyusup” ke perairan dan wilayah udara dekat Scarborough Shoal. Mereka menuduh Manila menghasut “penangkapan ikan ilegal” di wilayah tersebut.
Beijing mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut Cina Selatan, termasuk wilayah yang diklaim oleh Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
China menolak keputusan Pengadilan Permanen Arbitrase di Den Haag pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim mereka tidak didukung oleh hukum internasional.
Sementara itu, Amerika Serikat, yang merupakan sekutu Filipina, mendukung keputusan pengadilan dalam kasus yang diajukan Manila.