Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim dalam perkara korupsi pengadaan gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) PT Pertamina (Persero) 2011-2021.
Pihak KPK mengejar uang pengganti yang dibebankan untuk terdakwa Karen Agustiawan, sedangkan sang terdakwa bakal mengajukan banding atas vonis bui sembilan tahun.
Untuk diketahui, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebelumnya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama sembilan tahun kepada mantan Direktur Utama Pertamina itu, sekaligus denda sebesar Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Karen dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa terkait dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan," ujar Ketua Majelis Hakim Maryono di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024).
Vonis hakim itu lebih ringan dari tuntutan yang dilayangkan sebelumnya oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni hukuman penjara 11 tahun dan denda Rp1 miliar.
Baca Juga
Selain hukuman denda yang dipotong separuh oleh hakim, hukuman uang pengganti kepada Karen pun hilang pada vonis kepadanya. Padahal, jaksa KPK sebelumnya turut menuntut mantan direktur utama Pertamina 2009-2014 itu untuk membayar uang pengganti Rp1,09 miliar dan US$104.016.
Berdasarkan perhitungan Bisnis, uang pengganti yang sebelumnya dibebankan ke Karen dalam tuntutan jaksa setara dengan sekitar Rp2,8 miliar (sesuai dengan kurs Jisdor Bank Indonesia Rp16.394 per dolar Amerika Serikat).
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, tim jaksa lembaga antirasuah telah memutuskan untuk mengajukan banding atas putusan majelis hakim. Mereka disebut telah meminta salinan lengkap putusan Karen ke PN Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2024), guna dipelajari lebih lanjut untuk menyusun memori banding.
Tessa mengatakan jaksa KPK mengincar uang pengganti yang dibebankan kepada Karen sebelumnya namun tidak dikabulkan majelis hakim.
"Sepanjang pengetahuan kami, banding yang diajukan masih terkait uang pengganti yang tidak dikabulkan oleh majelis hakim," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dikutip Senin (1/7/2024).
Adapun Tessa tidak memerinci lebih lanjut apabila pihak KPK juga menyatakan banding atas uang pengganti kerugian negara dalam kasus tersebut sebesar US$113,83 juta. Pada tuntutan jaksa, uang pengganti itu dibebankan kepada Corpus Christie Liqeufaction, LLC atau CCL. Namun, hukuman uang pengganti kerugian negara itu juga hilang dalam putusan majelis hakim.
Di sisi lain, kubu Karen juga menyatakan bakal mengajukan banding atas putusan majelis hakim. Penasihat hukum Karen, Luhut Pangaribuan menyebut kliennya akan resmi mengajukan banding, Senin (1/7/2024).
"Bu Karen akan banding besok," kata Luhut kepada Bisnis melalui pesan singkat, Minggu (30/6/2024).
Adapun dalam pertimbangan majelis hakim, Karen dinilai tidak menerima uang hasil tindak pidana korupsi. Hal itu termaktub dalam hal meringankan putusan kepada terdakwa.
"Hal-hal yang meringankan : terdakwa bersikap sopan di persidangan, terdakwa tidak memperoleh hasil tindak pidana korupsi, terdakwa memiliki tanggungan keluarga, terdakwa mengabdikan diri pada Pertamina," kata Hakim Ketua.
Sementara itu, sejumlah hal yang memberatkan vonis kepada Karen misalnya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta perbuatannya yang merugikan keuangan negara.
Kerugian Negara
Dalam persidangan, tim penuntut ummum KPK mendakwa Karen merugikan keuangan negara sebesar US$113,83 juta akibat kerja sama kontrak pengadaan LNG Pertamina dengan CCL.
Nilai kerugian keuangan negara itu didapatkan dari hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada PT Pertamina (Persero) dan instansi terkait lainnya nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.
Untuk diketahui, CCL merupakan perusahaan yang menandatangani kerja sama pengadaan LNG dengan Pertamina di bawah kepemimpinan Karen saat itu. Perusahaan yang berbasis di negara bagian Texas di AS itu merupakan anak usaha dari Cheniere Energy, Inc.
JPU menyatakan bahwa persetujuan pengembangan bisnis gas Pertamina pada beberapa kilang LNG potensial di Amerika Serikat (AS) itu dilakukan tanpa pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa dasar justifikasi, analisis, maupun tanggapan tertulis pada Dewan Komisaris perseroan.
Karen juga disebut menandatangani perjanjian jual beli LNG dengan CCL tanpa persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dia lalu memberikan kuasa kepada dua anak buahnya, Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013-2014 serta Direktur Gas Pertamina 2012-2014 Hari Kayuliarto, untuk menandatangani masing-masing Sales and Purchase Agreement (SPA) CCL Train 1 dan Train 2.
Hal itu turut dilakukan Karen tanpa adanya pembeli LNG dari CCL itu yang sudah diikat dengan perjanjian pembelian.
Pada sidang pembacaan tuntutan sebelumnya, Kamis (30/5/2024), JPU KPK berpendapat bahwa pembelian LNG oleh Pertamina dari CCL hanya dalih Karen semata, bukan karena adanya kebutuhan domestik. Jaksa menyebut kebutuhan gas domestik masih bisa dipenuhi dari dalam negeri sehingga saat itu tidak membutuhkan impor.
Berdasarkan uraian jaksa, kontrak jangka panjang pembelian 40 juta ton LNG awalnya ditujukan untuk proyek floating storage regasification unit (FSRU) Jawa Tengah. Namun, pada perjalanannya bahwa proyek FSRU Jawa Tengah dibatalkan.
Jaksa juga menyebut LNG dari CCL tidak berhasil diserap lantaran harga yang dibeli dari perusahaan AS itu terlalu mahal untuk kilang Pertamina.
Alhasil, lanjut jaksa, LNG dari CCL tidak bisa diserap oleh pasar domestik. Pertamina pun disebut menjual sebanyak delapan kargo gas alam cair dari CCL itu di pasar spot dengan harga lebih rendah. Kemudian, perseroan juga harus membayar suspension fee atas batalnya pembelian sebanyak tiga kargo LNG lainnya.
Kerugian keuangan negara itu lalu terpotret dalam audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK yang digunakan dalam surat dakwaan. Audit negara itu menyatakan bahwa pembelian LNG oleh Pertamina dari CCL merugikan keuangan negara sebesar US$113,83 juta (atau sekitar Rp1,87 triliun berdasarkan kurs jisdor BI Rp16.431 per dolar AS).
Di sisi lain, tim jaksa juga mendakwa Karen memperkaya diri sendiri sebesar Rp1,09 miliar dan US$104.016. Uang setara Rp2,8 miliar itu merupakan gaji Karen yang diterima dari Blackstone, perusahaan investasi asal Amerika Serikat (AS) selaku pemilik saham dari Cheniere Energy, Inc. CCL merupakan anak usaha dari Cheniere.
Karen disebut 'bermanuver' sendiri untuk menjalin komunikasi dengan Blackstone guna mendapatkan jabatan di perusahaan investasi tersebut lantaran sudah mengamankan pembelian LNG dari CCL oleh Pertamina.
"Dan memperoleh jabatan sebagai Senior Advisor pada Private Equity Group Blackstone karena PT Pertamina telah mengambil proyek Corpus Christi Liquefaction," demikian bunyi surat dakwaan.
Meski demikian, dalam pertimbangan vonis majelis hakim, gaji yang diterima Karen dari Blackstone sebesar Rp1,09 miliar dan US$104.016 itu merupakan penghasilan resmi lantaran sudah dipotong pajak sekaligus dilaporkan dalam SPT 2015. Uang itu juga dinyatakan merupakan penerimaan sah karena didapatkan setelah Karen mengundurkan diri dari perseroan.
"Majelis hakim sependapat dengan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa bahwa uang diterima dari Blackstone melalui manajemen sebesar Rp1,09 miliar dan US$104.016 adalah penghasilan resmi sebagai senior advisor [Blackstone]," kata Hakim Ketua Maryono.