Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR, Luluk Nur Hamidah memberikan kritik tajam kepada Kementerian Agama (Kemenag) atas pengalihan sebagian besar kuota tambahan haji reguler untuk haji khusus.
Dia mengatakan bahwa dari 20.000 kuota tambahan haji, hampir 50% digunakan untuk kuota haji plus atau furoda, yang jauh melebihi batas 8% yang selama ini disepakati.
"Kami sangat terkejut karena ternyata lebih dari kesepakatan bersama di Komisi VIII, [kuota tambahan] dipakai untuk kuota haji plus atau bahkan furoda," katanya, dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (20/6/2024).
Berdasarkan aturan yang berlaku, dia menuturkan mestinya tidak lebih dari 8% dari kuota tambahan 20.000 untuk haji, justru yang terjadi hampir 50% dialihkan untuk kuota haji plus atau furoda.
"Ini adalah tindakan yang sangat sembrono yang dilakukan oleh Kementerian Agama dan ada potensi pelanggaran terhadap undang-undang," ujarnya.
Lebih lanjut, Luluk menekankan bahwa tindakan Kemenag tersebut telah melanggar undang-undang dan kesepakatan yang ada, serta tidak pernah dikonsultasikan dengan DPR.
Baca Juga
"Prosedur dan mekanisme ini tidak digunakan, yaitu cek kepada undang-undang atau aturan bahkan kesepakatan dan hasil konsultasi dengan DPR," ucap politisi Fraksi PKB tersebut.
Selain itu, dia juga menyoroti bahwa penambahan kuota seharusnya dapat mengurangi beban antrean haji reguler yang sangat panjang, mencapai 38 hingga 48 tahun di beberapa provinsi.
Namun, menurutnya dengan adanya pengalihan kuota ke haji plus, justru memperpanjang masa tunggu bagi jemaah haji yang sudah lanjut usia.
"Kami sangat menyayangkan antrean panjang jemaah haji reguler kita yang sudah luar biasa menumpuknya karena menunggu 38 hingga 48 tahun di beberapa provinsi di luar Jawa. Dengan tambahan 20.000 ini relatif akan mengurangi beban dan juga memperpendek jarak khususnya bagi para jemaah yang usianya sudah relatif senior," ujarnya.
Kemudian, dia juga menekankan bahwa kebijakan ini menimbulkan pertanyaan adanya pihak-pihak yang diuntungkan.
Selain itu, dia juga menilai bahwa kebijakan itu memunculkan potensi penyalahgunaan anggaran yang melanggar undang-undang, yang dapat mengundang penyelidikan dari institusi lain.