Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Presiden Dipilih MPR, Sebuah Solusi atau Kemunduran Demokrasi?

Wacana Presiden dan Wakil Presiden RI kembali dipilih MPR kembali menghangat dan menuai polemik
Rendi Mahendra, Sholahuddin Al Ayyubi
Senin, 10 Juni 2024 | 12:00
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo alias Bamsoet resmi membuka Sidang Tahunan MPR 2023 dan Sidang Bersama DPR dan DPR Tahun 2023 pada Rabu (16/8/2023).
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo alias Bamsoet resmi membuka Sidang Tahunan MPR 2023 dan Sidang Bersama DPR dan DPR Tahun 2023 pada Rabu (16/8/2023).

Bisnis.com, JAKARTA - Wacana Presiden dan Wakil Presiden RI kembali dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menghangat usai dicetuskan oleh Amien Rais beberapa waktu lalu.

Awalnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI periode 1999–2004 itu mengungkapkan alasan kewenangan MPR dalam memilih presiden dan wapres dihilangkan saat periode kepemimpinannya.

"Dulu kita mengatakan kalau dipilih langsung atau satu orang satu suara (one man one vote), mana mungkin ada orang mau menyogok 127 juta pemilih, mana mungkin, perlu ratusan triliun. Ternyata mungkin, itu luar biasa," kata Amien Rais di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.

Amien pun memohon maaf atas perhitungan yang agak naif itu sehingga melucuti kekuasaan MPR sebagai sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden.

"Jadi, sekarang kalau mau dikembalikan dipilih MPR, mengapa tidak? MPR kan orangnya berpikir, punya pertimbangan," katanya menegaskan.

Amien juga mempersilakan MPR jika kembali melakukan amandemen UUD 1945, asalkan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Menanggapi hal itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan seluruh partai politik setuju untuk melakukan amandemen penyempurnaan UUD 1945 yang ada, termasuk penataan kembali sistem politik dan sistem demokrasi.

"Kami di MPR siap untuk melakukan amandemen," ujarnya.

Mengenai wacana pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh MPR, yang dianggap mencabut kedaulatan rakyat, Bamsoet menegaskan kedaulatan itu sudah diwakilkan dengan para wakil yang dipilih oleh rakyat.

Klarifikasi Bamsoet

Usai pernyataan kontroversialnya itu, Bambang Soesatyo membantah telah memutuskan bahwa pemilihan presiden akan dilakukan oleh MPR.

"Kami sudah mengutuskan amendemen itu tidak ada, apalagi mengubah sistem pemilihan presiden di MPR," katanya saat mengunjungi Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Sabtu (8/6/2024)

Bamsoet - sapaan akrab Bambang Soesatyo - menjelaskan bahwa pihaknya hanya menerima usulan amendemen UUD 1945 dan pemilihan presiden lewat MPR dari Amien Rais.

Menurutnya, pernyataan 'menerima' usul Amien Rais itu disalahartikan sehingga memunculkan perdebatan dan kegaduhan di tengah publik. Oleh karenanya, Bamsoet menegaskan kembali bahwa pihaknya membantah beredarnya kabar tersebut.

"Enggak pernah kami menyampaikan ‘kita akan kembali memilih presiden di MPR’, belum karena kita belum bersidang,ya," kata Bamsoet.

Senada dengan Bamsoet, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basara juga mengatakan bahwa pihaknya tidak mungkin melakukan amendemen UUD 1945 karena terbentur peraturan internal tata tertib MPR.

Dalam tata tertib tersebut, dijelaskan bahwa MPR tidak diperbolehkan untuk mengubah undang-undang jika masa jabatannya tinggal 6 bulan.

"Sekarang menuju 1 Oktober, sudah tinggal kurang 4 bulan, jadi sudah kurang dari 6 bulan. Maka, sudah pasti MPR tidak dapat mengubah konstitusi dalam periode sekarang ini," kata dia.

Pemimpin Tiran

Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini angkat bicara mengenai wacana mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan wakilnya.

Didik menjelaskan bahwa saat sistem demokrasi perwakilan diterapkan mempertimbangkan literasi melek huruf, di mana bangsa Indonesia pada 1940 tingkat melek huruf masih di bawah 10 persen.

"Lebih 90 persen penduduk Indonesia dulu tidak mengenyam pendidikan sehingga tidak paham betul apa demokrasi itu. Maka dari itu, demokrasi sistem perwakilan yang tepat disajikan oleh pendiri bangsa pada waktu itu," tuturnya di Jakarta dalam siaran pers, Sabtu (8/6/2024).

Dia juga menjelaskan pada masa itu, para pendiri bangsa memutuskan bahwa MPR yang terdiri dari DPR dan itusan golongan serta utusan daerah adalah penjelmaan dari rakyat secara keseluruhan dan hanya Presiden yang bisa memilih orang tersebut.

"Sekarang keadaan sudah sangat berbeda, tingkat literasi bangsa sudah 97 persen lalu mau kembali kepada undang-undang dasar 1945, apa argumennya?," katanya.

Dia berpandangan reformasi 25 tahun yang lalu telah mengubah demokrasi tersebut menjadi sistem pemilihan langsung. Namun, menurutnya yang mengagetkan seluruh rakyat Indonesia karena banyak ekses negatif politik uang, konflik dan partai-partai yang seolah tidak siap menghadapi sistem seperti ini. 

"Sistem baru yang menggantikan bisa jadi menjadi lebih buruk dan menghasilkan pemimpin tiran karena bisa mengendalikan lebih mudah para anggota DPR dan MPR yang memilih presiden. Pada saat ini pun presiden dapat dengan mudah sekali untuk mengendalikan para anggota DPR melalui hanya beberapa pemimpin partainya," ujar Didik.

Sejarah Demokrasi di Indonesia

Demokrasi memberikan hak kepada rakyat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan.

Di Indonesia, demokrasi telah mengalami perkembangan yang panjang dan berliku. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sejarah, budaya, dan politik.

Secara garis besar, sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu:

1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Pada masa ini, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada parlemen dalam menjalankan pemerintahan.

Pemerintahan parlementer di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat Nomor X oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945. Maklumat tersebut menetapkan bahwa Indonesia akan menganut sistem demokrasi parlementer.

Dalam sistem demokrasi parlementer, Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahan. Perdana Menteri dipilih oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen.

Masa demokrasi parlementer di Indonesia berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno.

2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Pada masa ini, Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada Presiden dalam menjalankan pemerintahan.

Demokrasi terpimpin di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Dalam sistem demokrasi terpimpin, Presiden memiliki kekuasaan untuk membentuk dan membubarkan kabinet, mengeluarkan undang-undang, dan mengangkat dan memberhentikan pejabat negara.

Masa demokrasi terpimpin di Indonesia berakhir dengan jatuhnya Presiden Soekarno pada tahun 1965.

3. Demokrasi Pancasila (1966-1998)

Pada masa ini, Indonesia menganut sistem demokrasi pancasila. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada rakyat dalam menjalankan pemerintahan.

Demokrasi Pancasila di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 oleh Presiden Soeharto. Surat Perintah tersebut memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di Indonesia.

Dalam sistem demokrasi Pancasila, rakyat memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, serta hak untuk berserikat dan berkumpul.

Masa demokrasi Pancasila di Indonesia berakhir dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998.

4. Demokrasi Pasca-Reformasi (1998-sekarang)

Pada masa ini, Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila yang lebih terbuka dan demokratis.

Demokrasi pasca-reformasi di Indonesia dimulai dengan reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998. Reformasi politik tersebut membuka ruang bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan beragama.

Dalam sistem demokrasi pasca-reformasi, rakyat memiliki hak yang lebih besar untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini tercermin dari adanya kebebasan pers, kebebasan partai politik, desentralisasi, dan pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis.

Pemerintahan Indonesia saat ini masih terus berusaha untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik. Pemerintahan Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik, seperti peningkatan pendidikan politik dan sosialisasi tentang hak-hak politik.

Demokrasi merupakan proses yang terus berkembang. Oleh karena itu, penting bagi rakyat Indonesia untuk terus belajar dan berkontribusi dalam mewujudkan demokrasi yang lebih baik.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, Indonesia menggalang partisipasi rakyat dalam proses pembuatan keputusan politik, menjadikan sistem pemerintahan yang berpihak pada kepentingan bersama, dan memperkuat dasar kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper