Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Cemas Menuju Indonesia Emas 2045

Usut punya usut, pemberlakuan UKT ini bermula dari perubahan kebijakan menjadikan status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
Eliza Mardian
Eliza Mardian - Bisnis.com
Jumat, 7 Juni 2024 | 08:30
OPINI : Cemas Menuju Indonesia Emas 2045. Dok Freepik
OPINI : Cemas Menuju Indonesia Emas 2045. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Pembatalan kenaikan UKT atau uang kuliah tunggal oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi terkesan seperti untuk meredam amukan mahasiswa dan masyarakat.

Pembatalan kenaikan UKT ini hanya akan bersifat sementara, sebab peraturan dan revisi Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi yang semakin mengarah kepada komersialisasi pendidikan tidak diotak-atik. Sewaktu-waktu UKT bisa naik lagi dan terkesan seperti bom waktu.

Usut punya usut, pemberlakuan UKT ini bermula dari perubahan kebijakan menjadikan status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Kebijakan PTN-BH memberikan kewenangan kepada setiap perguruan tinggi negeri untuk mengelola sumber dayanya, termasuk penentuan biaya pendidik-an.

Kampus yang semula hanya berfokus pada proses pembelajaran dan pengembangan diri mahasiswa, kini dipaksakan harus pandai mencari pendanaan untuk menutupi biaya operasional.Meski ada kebijakan man-datory spending untuk sektor pendidikan sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tetapi yang dialokasikan untuk perguruan tinggi hanya 0,6% dari APBN.

Alokasi tersebut jauh dibawah rekomendasi UNESCO yang minimal 2%. Kecilnya anggaran pemerin-tah untuk pendidikan tinggi mendorong setiap kampus harus mencari pendanaan lain, salah satunya lewat UKT. Besaran UKT setiap kampus negeri berbeda-beda, tergantung biaya operasional dan diversifikasi sumber pendapatan.

Kampus-kampus yang kerap dijuluki “kampus favorit” memiliki biaya operasional yang relatif lebih mahal untuk menjaga eksistensi dan kualitas mutu pendidikan. Kampus yang biaya operasional mahal dan tidak banyak melakukan diversifikasi pendapatan inilah yang akhirnya lebih banyak dibebankan kepada masyarakat lewat besaran UKT yang mahal. Lebih dari separuh biaya operasional kampus digunakan untuk perawatan & membangun fasilitas kampus, gaji dosen dan lainnya.

Hanya saja, kenaikan UKT ini tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan fasilitas kampus yang dirasakan mahasiswa dan juga penerimaan gaji para dosen-nya. Mengacu kepada hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus terhadap 1.200 dosen aktif pada kuartal I/2023, ditemukan bahwa mayoritas gaji dosen masih di bawah Rp3 juta, di mana 76 persennya memi-liki pekerjaan sampingan.

Dosen dengan seabrek kewajibannya pun masih harus membagi sumber dayanya untuk mengerjakan pekerjaan sampingan. Dosen adalah ujung tombak dalam meningkatkan kualitas mahasiswa. Jika harus terus membagi fokus, apa yang akan terjadi dengan kualitas pendidikan kede-pan?

Indonesia memiliki visi Emas 2045: Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Dalam dokumen Indonesia Emas 2045, tertuang beberapa sasaran utama yakni menjadi negara berpendapatan tinggi, tingkat kemiskinan menuju 0%, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, daya saing sumber daya manusia (SDM) meningkat dan penurunan GRK menuju net zero emission.

Di negara mana pun, SDM menjadi motor penggerak pembangunan. Arah kebijakan yang ditempuh untuk menghasilkan SDM berkuali-tas adalah peningkatan kua-litas pendidikan, pelatihan, pengembangan, sikap dan etos kerja, penguasaan teknologi, inovasi dan kreativitas serta Kesehatan. Kualitas SDM saat ini akan menentukan Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi atau akan terjebak selamanya di negara berpendapatan menengah (middle income trap/MIT).

Indonesia bercita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi. Hanya saja sisa waktu bagi Indonesia untuk keluar dari MIT kurang lebih hanya 13 tahun lagi. Hal ini menga-cu kepada studi Felipe (2012) menyebutkan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk bisa keluar dari MIT adalah 42 tahun, Indonesia sudah masuk middle income sejak 1996.

Proporsi penduduk 15 tahun keatas yang menge-nyam pendidikan tinggi pada tahun 2023 saja hanya 10,15%. Masih relatif sedikit. Dengan paradigma kebijak-an pemerintah yang saat ini belum memprioritaskan pendidikan tinggi dan bah-kan menganggap hanya sekadar pilihan, apakah cita-cita Indonesia emas optimis tercapai? ataukah kita perlu harap-harap cemas?

Semestinya kebijakan pemerintah sejalan dengan tujuannya untuk mening-katkan kualitas sumber daya manusia, bukan malah sebaliknya.

Setiap jenjang pendidikan harus dipandang sama pentingnya. Jika pun pendidikan tinggi di gratiskan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, itu kurang lebih membutuhkan anggaran sekitar Rp73,5 triliun per tahun, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan anggaran program makan siang bergizi dan IKN. Memiliki pemimpin yang menganggap pendidik-an adalah investasi, bukan sekadar beban biaya tentu berkah bagi Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Eliza Mardian
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper