Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin sering terlibat konflik internal dan kian jauh dari hiruk pikuk penegakan hukum. Padahal sebagai lembaga 'super power' dalam pemberantasan korupsi, KPK seharusnya mampu menanggapi perkara korupsi dan meningkatkan indeks persepsi korupsi (IPK) yang stagnan.
Salah satu konflik terbaru adalah laporan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Albertina Ho ke Dewas KPK.
Ghufron melaporkan Albertina ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan wewenang, terkait dengan permintaan hasil analisis transaksi keuangan seorang pegawai KPK ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dia menilai Dewas tidak berwenang meminta laporan PPATK karena bukan penegak hukum.
Menurut Ghufron, dia memiliki kewajiban sebagai insan KPK untuk melaporkan dugaan pelanggaran etik. Hal itu diatur dalam pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewas (Perdewas) No.3/2021.
"Sehingga laporan itu adalah pemenuhan kewajiban saya atas peraturan dewas sendiri," katanya kepada wartawan melalui pesan singkat, dikutip Kamis (25/4/2024).
Albertina pun membenarkan adanya laporan terhadapnya yang masuk ke Dewas KPK. Mantan hakim itu menyebut, Ghufron mempermasalahkan permintaan informasi transaksi keuangan milik jaksa KPK berinisial TI ke PPATK.
Baca Juga
Awal Perkara
Sebagai informasi, jaksa TI dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik berupa penerimaan gratifikasi atau suap.
Albertina menjelaskan, dia mewakili Dewas untuk meminta hasil transaksi keuangan itu ke PPATK karena merupakan person-in-charge atau PIC dalam penanganan masalah etik.
Dia mengatakan koordinasi Dewas dan PPATK berlandaskan payung hukum Surat Edaran (SE) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) No.1/2012.
"Jadi saya dilaporkan dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Dewas KPK. Hanya saya yang dilaporkan padahal keputusan yang diambil Dewas kolektif kolegial," ujarnya melalui pesan singkat kepada wartawan.
Rekan sesama anggota Dewas, Syamsuddin Haris menilai aneh laporan Ghufron. Sebab, koordinasi dengan PPATK untuk permintaan laporan transaksi keuangan sudah dilakukan pada kasus-kasus etik pegawai KPK sebelumnya.
Salah satunya yaitu saat Dewas KPK menangani kasus etik pemerasan dan pertemuan dengan pihak berperkara yang menjerat Firli Bahuri.
"Sudah berkali-kali. Kasus Pak FB [Firli], kasus pungli rutan, Dewas koordinasi dengan PPATK dan enggak ada masalah. Ya agak aneh," kata Syamsuddin kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Tanggapan Kolega Ghufron
Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango memastikan bahwa pelaporan Albertina ke Dewas merupakan sikap Ghufron pribadi. Hal tersebut kendati prinsip pimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial.
"Itu adalah sikap Pak NG [Nurul Ghufron] sendiri dan bukan sikap pimpinan kolegial, tetapi kami pimpinan lainnya menghormati langkah Pak NG," ujarnya melalui pesan singkat, dikutip Kamis (25/4/2024).
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menilai masalah pelaporan soal dugaan pelanggaran etik merupakan kewajiban setiap insan KPK.
"Semua pegawai. Pegawai boleh melaporkan pimpinan, pimpinan boleh melaporkan, bahwa pimpinan bisa melaporkan Dewas. Dewas bisa melaporkan ke Dewas, jadi itu normatif aja," ujarnya di Gedung ACLC KPK, Kamis (25/4/2024).
Pria yang akrab disapa Alex itu membantah bahwa laporan Ghufron terhadap Albertina menandakan adanya konflik antara pimpinan dan dewas.
Dia mengatakan bahwa laporan itu merupakan personal dari Ghufron, karena rekannya itu dinilai mengetahui adanya indikasi pelanggaran etik oleh terlapor.
"Enggak ada [konflik] saya baik-baik saja dengan kelima anggota dewas. Enggak ada persoalan," tuturnya.