Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan refleksi terhadap kinerja maupun kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah berbagai kontroversi yang melanda lembaga tersebut. Isu kinerja, kasus pungutan liar hingga kontroversi Firli Bahuri menjadi sorotan.
Pada diskusi publik 'Pemberantasan Korupsi: Refleksi dan Harapan', Selasa (2/4/2024), Peneliti ICW Kurnia Ramadhan memaparkan sejumlah kritik maupun refleksi terhadap kinerja dan kelembagaan KPK. Diskusi itu juga dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Kurnia menjelaskan bahwa kinerja penindakan KPK era 2019-2024 menurun secara kuantitas dan kualitas. Dia menyebut hal itu dilihat dari jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK menurun dari periode sebelumnnya.
Kendati KPK era saat ini menangkap pejabat selevel menteri hingga hakim agung, terang Kurnia, penyelenggaraannya dinilai masih meninggalkan banyak hal.
"Memang alasan pembenar KPK menangkap level menteri kok dalam kasus bansos dan lobster, hakim agung, tetapi kalau di-zoom in lagi kasus itu banyak bolongnya. Misalnya kasus bansos, ada dua politisi yang hari ini dibiarkan oleh KPK. Kasus kerugian negaranya belum diungkap," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Penurunan kinerja itu, lanjut Kurnia, juga sejalan dengan sederet kontroversi pelanggaran etik para insan KPK. Mulai dari yang teranyar kasus pungli rutan serta kontroversi etik dua pimpinan KPK, Firli Bahuri dan Lili Pintauli.
Baca Juga
Selain itu, Kurnia turut menyoroti peran Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dinilai tidak efektif serta alih status kepegawaian di lembaga antirasuah. Dia memandang ketidakefektifan dua hal tersebut bisa dilihat saat penanganan etik kasus pungutan liar di rumah tahanan (rutan) KPK.
Untuk diketahui, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean sempat menyinggung bahwa tidak bisa memberikan sanksi lebih berat dari permintaan maaf terbuka langsung kepada 93 pegawai KPK terlibat pungli rutan. Hal itu lantaran kini pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN) sehingga mekanismenya melalui Inspektorat maupun Kesekjenan.
Di sisi lain, Kurnia juga menyinggung soal pelemahan KPK oleh pemerintah maupun DPR. Hal itu dimulai dari revisi UU KPK ke UU No.19/2019. Menurutnya, pengkal pelemahan KPK berawal dari revisi UU tersebut sekitar lima tahun yang lalu.
Pegiat antikorupsi itu lalu mengingatkan agar pemilihan pimpinan KPK selanjutnya bisa lebih akomodatif terhadap partisipasi publik. Kurnia menilai panitia seleksi (pansel) KPK 2019 lalu tidak melakukan hal tersebut.
"Disinyalir konflik kepentingan, sehingga pansel tersebut menghasilkan dua orang pimpinan KPK yang sudah hengkang dari KPK," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bakal mengoreksi berbagai hal yang dinilai menjadi kekurangan bagi komisi antirasuah. Namun, pimpinan KPK dua periode itu memastikan bahwa dari sisi aturan tidak ada yang berbeda antara UU No.19/2019 dan UU No.30/2002.
Menurut Alex, sapaannya, independensi KPK masih sama dengan yang dialami olehnya pada periode kedua dan pertama.
"Sebetulnya dari sisi aturan baik-baik saja, tidak ada persoalan. Masih aman. Saya juga delapan tahun di KPK ya rasanya belum ada yang menelepon saya untuk menghentikan kasus," tuturnya.