Bisnis.com, JAKARTA — Pengunduran diri Ratu Ngadu Bonu Wulla, calon anggota legislatif (caleg) DPR RI nomor urut 5 dari Partai NasDem di daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) II menjadi pusat perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir.
Musababnya, perolehan suara legislator DPR RI periode 2019–2024 ini menjadi yang tertinggi di Partai NasDem untuk dapil NTT II. Berdasarkan rekapitulasi yang disahkan KPU RI, Ratu Wulla meraih 76.331 suara.
Alhasil, anggota Komisi IX DPR RI tersebut memperoleh suara terbanyak dibandingkan enam calon lainnya dari Partai NasDem di Dapil NTT II.
Ratu Wulla mengungguli kompatriotnya di posisi kedua yang ditempati caleg nomor urut 1 Victor Bungtilu Laiskodat. Gubernur NTT periode 2018–2023 itu mendapatkan 65.359 suara.
Adapun, secara keseluruhan Partai NasDem dan calegnya mendapatkan 207.732 suara, meliputi 10.831 orang yang memilih partainya saja.
Pengunduran diri Ratu Wulla sekonyong-konyong menjadi perbincangan publik juga lantaran surat pengunduran dirinya secara langsung disampaikan saksi dari Partai NasDem kepada Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz yang sedang memimpin "Rapat Pleno Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Nasional" panel B, Selasa (12/3/2024).
Baca Juga
Saksi dari Partai NasDem itu menyatakan bahwa surat pengunduran diri tersebut merupakan surat dari Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
"Saya ingin menyampaikan ada surat dari Ketua Umum Partai NasDem pada KPU dan juga nanti ditembuskan kepada Bawaslu [Badan Pengawas Pemilu] RI terkait dengan pengunduran diri calon anggota legislatif nomor urut 5 di NTT II," ujar saksi tersebut seperti dilansir Antara.
Saksi dari Partai NasDem menjelaskan alasan pengunduran diri Ratu Wulla adalah sesuai dengan kehendak yang bersangkutan. Dengan kata lain, pengunduran diri itu merupakan keputusan sang caleg.
"Alasan pengunduran diri sesuai dengan kehendak yang bersangkutan dan di atas materai. Dan untuk itu karena suratnya ke KPU RI, saya tidak berhak untuk membacakan, dan lampirannya juga ada di dalamnya. Dengan demikian perlu kami sampaikan dalam forum terbuka ini bahwa calon anggota legislatif Partai NasDem nomor urut 5 Dapil NTT II menyatakan mengundurkan diri," kata Saksi.
Dalam kesempatan itu, August Mellaz juga menegaskan bahwa KPU akan mengkaji terlebih dahulu surat pengunduran diri Ratu Wulla tersebut.
"Baik, terima kasih untuk saksi dari Partai NasDem. Tentu, suratnya kami terima. Nanti kami akan pelajari sendiri," kata Mellaz.
Mellaz lantas menekankan tidak akan menyampaikan substansi dari surat pengunduran diri tersebut dalam forum rekapitulasi.
"Kami juga tidak akan sampaikan di forum ini substansinya apa karena yang pasti ini kan prosesnya memang rekapitulasi penghitungan perolehan suara untuk pemilu, baik Presiden-Wakil Presiden, DPR dan DPD untuk Provinsi NTT," ujarnya.
RESPONS KPU DAN BAWASLU
Seusai rapat pleno, August Mellaz menambahkan bahwa hasil pengkajian pada surat pengunduran diri Ratu Wulla tersebut tidak akan mengubah hasil rekapitulasi penghitungan suara.
Pasalnya, jelasnya, surat pengunduran diri itu tak ada kaitannya dengan proses rekapitulasi nasional. Tugas dari rekapitulasi nasional hanya untuk membacakan formulir hasil rekapitulasi provinsi.
"Ketika di forum disampaikan surat, tentu surat itu ditujukan kepada Ketua KPU [Hasyim Asy'ari], tentu akan kami kaji, tetapi tidak dalam rangka mengubah posisi pleno rekap kan, di situ," ujar Mellaz.
Setali tiga uang, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menegaskan akan melihat terlebih dahulu perangkat aturan yang terkait dengan pengunduran diri Ratu Wulla. Bagja meyakini terdapat aturan mengenai penggantian caleg tersebut bila ditetapkan terpilih sebagai anggota DPR RI.
"Nanti kami lihat aturannya boleh apa tidak mengundurkan diri," kata Bagja di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (13/4).
Namun, Bagja menegaskan bahwa dia menghormati keputusan Ratu Wulla untuk mengundurkan diri lantaran merupakan hak setiap peserta Pemilu 2024.
Terkait dengan surat pengunduran diri tersebut, Bisnis mencoba menghubungi Ratu Wulla. Namun, hingga laporan ini ditayangkan Ratu Wulla belum memberikan respons.
Bisnis juga mencoba mengonfirmasi kepada pengurus Partai Nasdem bahwa surat pengunduran diri tersebut merupakan kehendak Ratu Wulla dan bukan atas arahan partai. Namun, Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat Hermawi Taslim dan Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya belum memberikan tanggapan.
IRONI SISTEM?
Bagi sejumlah pakar dan pemerhati politik di Tanah Air, pengunduran diri Ratu Wulla cukup sulit untuk dipahami sebagai kehendak pribadi. Pengunduran caleg dengan suara terbanyak di dapil NTT II itu dinilai lebih cenderung kepada mekanisme internal partai politik (parpol).
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keputusan Ratu Wulla itu aneh dan janggal lantaran dilakukan pada babak akhir proses pemilu legislatif atau Pileg 2024.
“Aneh karena keputusan untuk mundur itu sangat terlambat. Ketika tahapan sudah dilalui begitu panjang hingga akhirnya mau selesai baru memilih mundur. Kenapa enggak dari awal-awal atau tengah-tengah proses gitu?” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (14/3/2024).
Lucius menilai keputusan Ratu Wulla janggal sebab langkah itu diambil saat ada kepastian bahwa ia menjadi pemenang atau peraih kursi mewakili Nasdem di dapilnya. Menurutnya, keputusan pengunduran diri Ratu Wulla lebih masuk akal sebagai ekspresi kekecewaan karena dicurangi sehingga kalah.
“Lah ini, sudah pasti kok menjadi peraih suara terbanyak di antara rival separtai, dan jumlah suara itu membuka jalan menggenggam satu kursi di DPR. Kok mundur? Di situlah kejanggalannya,” jelasnya.
Dengan kata lain, sambung Lucius, keputusan yang janggal itu tampaknya tak bisa dijelaskan dengan aksi pengunduran diri. Menurutnya, langkah pengunduran diri Ratu Wulla hanya mungkin disebabkan oleh hal di luar kapasitas pribadinya atau menyangkut kekuatan kuasa yang memaksanya.
“Jadi nampaknya pengunduran diri ini adalah bahasa diplomatis dari kejadian sesungguhnya yang mungkin saja bisa berupa perintah partai, tekanan elit partai. Saya menduga ini kebijakan parpol yang dengan sadar memutuskan penggantian Ratu Wulla dengan figur lain yang disukai parpol.”
Menurut Lucius, sistem kepartaian atau politik di Indonesia memang memberikan kuasa tanpa batas kepada parpol untuk mengendalikan kadernya. Parpol dengan seribu satu alasan bisa mencabut mandat seseorang yang terpilih secara langsung di pemilu. Hal ini umum terjadi pada anggota legislatif yang sedang menjabat.
“Yang baru dari kasus Ratu ini karena parpol memperlihatkan kekuasaan mutlaknya pada kader justru di proses pemilu yang hampir berakhir. Bertambah aneh karena pencabutan mandat itu justru dilakukan terhadap kader yang jelas-jelas berhasil mendapatkan dukungan suara pemilih, sekaligus membantu parpol menambah koleksi kursi di parlemen,” ungkapnya.
Problemnya, kata Lucius, pengunduran diri menghadirkan ironi kepada pemilih yang telah memberikan kepercayaan melalui suara mereka di TPS kepada Ratu Wulla. Dia menilai rakyat yang memercayakan mandat mereka kepada Ratu Wulla akhirnya harus berhadapan dengan kekuasaan parpol.
Lucius menilai kekuasaan mutlak parpol pada akhirnya memutuskan relasi antara rakyat dan wakil mereka. Ruang bagi parpol untuk sewenang-wenang baik terhadap kadernya sendiri maupun terhadap rakyat dianggap sebagai masalah utama di sistem politik Indonesia.
“Kasus Wulla ini bisa kita anggap sebagai bentuk kesewenang-wejangan partai berhadapan dengan rakyat. Partai hanya menganggap rakyat penting untuk memberikan suara, selanjutnya partai enggak peduli lagi dengan rakyat itu,” pungkasnya.
Secara terpisah, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan pengunduran diri Ratu Wulla lebih cenderung kepada kebijakan internal parpol. Menurutnya, setiap parpol memiliki kebijakan internal masing-masing yang wajib dihormati.
Namun, Wasisto menyangsikan bahwa relasi antara partai dan kadernya sebagaimana tampak dalam fenomena pengunduran diri Ratu Wulla merupakan dampak dari sistem kepartaian yang ada. Menurutnya, fenomena itu lebih dapat dipahami sebagai kebijakan internal partai.
“Kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa itu karena sistem, namun lebih pada kebijakan internal parpol itu sendiri,” jelasnya kepada Bisnis.