Bisnis.com, JAKARTA — Kerugian ekologi atau lingkungan akibat korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh PT Timah Tbk. (TINS) sepanjang 2015—2022 diklaim sebesar Rp271 triliun.
Angka tersebut merupakan hasil perhitungan ahli forensik lingkungan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo.
Merespons temuan itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara. Menurutnya, perkara kerugian negara atau kerugian perekonomian negara di atur dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).
Menurutnya, dalam Pasal 2 ayat (1) misalnya, menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Oleh karena itu, dia menilai kerugian berupa kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian yang dimaksud di Pasal 2 dan 3 UU PTPK.
"Pasal 2 dan 3 UU PTPK itu mengatur adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara. Kerugian berupa kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian yang dimaksud di Pasal 2 dan 3 UU PTPK," ujarnya melalui keterangan resmi, Jumat (8/3/2024).
Baca Juga
Manurutnya hal ini bukan urusan kelaziman tapi urusan bagaimana memahami maksud UU dan ini menyangkut kepastian hukum.
Tak hanya itu, Gandjar menjelaskan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan bukanlah tindak pidana korupsi. Alasannya, kerugian lingkungan tidak termasuk kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK.
Dengan demikian, lanjut dia, penetapan tersangka pada seseorang yang berdasar pemahaman unsur yang salah atau tidak tepat menjadi tidak tepat pula.
Gandjar juga berpendapat bahwa berwenang menghitung kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Artinya, perhitungan ahli forensik lingkungan IPB bahwa kerugian ekologi menjadi dasar kerugian negara tidaklah tepat.
"Sebagai tambahan kerusakan lingkungan merupakan akibat yang dilarang oleh UU Lingkungan. Pelakunya seharusnya dijerat sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Bukan dipaksakam sebagai tindak pidana korupsi apalagi berdasarkan penafsiran yang menyimpang dari maksud UU," tutur dia.