Bisnis.com, JAKARTA - Pakar hukum menilai kerugian ekologis negara yang disebabkan oleh dugaan korupsi komoditas di wilayah IUP PT Timah Tbk (TINS) perlu dihitung secara lebih mendetail.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana menyampaikan penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum. Setelah itu, menurutnya, perhitungan yang dihasilkan kemudian harus diperiksa metodenya dan diterima di komunitas ilmiah.
“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evaluasi lingkungan dan itu ada pakarnya,” ujar Andri dalam keterangannya, Kamis (29/2/2024).
Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) itu juga menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan di daerah tambang tidak otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.
“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) bekerja sama dengan ahli lingkungan menghitung kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah dalam kasus IUP PT Timah Tbk. (TINS). Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan itu mencapai Rp271 triliun.
Baca Juga
Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Kuntadi menegaskan bahwa nilai tersebut belum final karena masih menghitung kerugian negara yang sampai saat ini masih berproses.
"Itu tadi hasil penghitungan kerugian ekologis dan kerugian itu masih akan ditambah dengan kerugian negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya? nanti masih kita tunggu," ujar Kuntadi di Kejagung RI, Senin (19/2/2024).
Ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan penghitungan kerugian berdasarkan Permen LH No.7/2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Dia juga menyampaikan kerusakan dari kasus tersebut itu terdiri dari tiga jenis. Di antaranya, kerugian ekologis mencapai Rp183,7 triliun, kemudian ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun dan terakhir biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
"Totalnya kerugian kerusakan tadi sebesar Rp271.069.688.018.700," ujarnya.