Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fauziah Zen

Chief Economist Otorita Ibu Kota Nusantara

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: IKN dan Visi Masa Depan Bangsa

Mengapa otonomi daerah yang adalah kebijakan luar biasa tidak berhasil mendorong pemerataan ekonomi ke luar Jawa?
Suasana pembangunan Sumbu Kebangsaan di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (22/9/2023). Presiden Joko Widodo menyebut progres pembangunan IKN sudah mencapai sekitar 40 persen. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Suasana pembangunan Sumbu Kebangsaan di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (22/9/2023). Presiden Joko Widodo menyebut progres pembangunan IKN sudah mencapai sekitar 40 persen. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Pada 4 Agustus 2019, rasanya terjadi bencana nasional, semua kanal berita dan sosial media nasional dipenuhi dengan berita, keluhan, dan kecaman. Apakah hal besar tersebut?

Ya, listrik padam selama beberapa jam di Jakarta dan sebagian Jawa. Internet tak berfungsi, kami tak bisa be-lajar dan bekerja! Restoran kami terpaksa tutup! Lalu saudara kita di luar Jawa berkata: apa yang kalian alami itu sudah biasa kami alami dan tidak lagi menjadi berita.

Tanpa membenarkan peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa “anekdot kecil” itu menggambarkan betapa besarnya ketimpangan antara Jawa, dengan Jakarta seba-gai pusat, dan daerah di luar Jawa. Ironisnya, luas Jawa yang hanya sekitar 7% dari luas Indonesia raya ini, didiami sekitar 60% penduduk Indonesia, dan memproduksi sekitar 57% kue ekonomi negara ini.

Sedangkan Kalimantan yang seluas 30% Indonesia hanya dihuni oleh sekitar 6% penduduk Indonesia.Indonesia menyadari ketim-pangan ini. Salah satu harap-an besar terhadap Otonomi Daerah, adalah terjadinya pemerataan pembangunan ke luar Jawa. Kita ingin potensi daerah luar Jawa yang sangat besar itu bisa terealisasi untuk kesejahteraan semua rakyat.

Mengapa otonomi daerah yang adalah kebijakan luar biasa tidak berhasil mendorong pemerataan ekonomi ke luar Jawa? Karena akumu-lasi pengetahuan, SDM, dan usaha/industri yang terpusat di Jawa. Dana daerah luar Jawa banyak yang kembali ke Jawa, karena mereka mengimpor hampir semua kebutuhannya dari Jawa.

Pada 2018—2019, saya dan tim ahli UI berkeliling ke wilayah timur Indonesia (IBT), berdialog dengan pen-duduk, pemda, otoritas pela-buhan, dan pelaku ekonomi mengenai disparitas harga, kesempatan dan juga kesu-litan untuk mengembang-kan perekonomian.

Studi yang awalnya berfokus pada analisis kebijakan Tol Laut, membawa kami ke banyak temuan lain. Hasil studi kuantitatif kami memakai metode nightlight intensity dengan data dari NASA, BPS dan instansi ter-kait, menunjukkan bahwa tol laut berdampak positif tapi tidak optimal karena lemahnya konektivitas antarwilayah di IBT, antara IBT dan Barat, serta antara IBT dan Asia.

Penelitian tersebut mengonfirmasi semua argumen di atas yang menghambat peme-rataan walaupun telah terde-sentralisasi. Maka, jika kita ingin membangun Indonesia, bukan cuma Jawa, kita butuh kebijakan luar biasa lain: kebijakan yang mem-buat aktivitas dan interaksi manusia, talents, investasi, dan industri tumbuh di suatu livable ecosystem perkotaan dan regional berkelanjutan yang terletak di luar Jawa. Kawasan ini akan jadi peng-gerak ekonomi sekaligus memberikan limpahan efek ekonomi ke wilayah lain.

Membangun IKN bukan-lah membangun suatu kota kecil berisi gedung peme-rintahan, yang tak ada dam-paknya pada wilayah lain. Ini pandangan yang keliru. Pembangunan suatu kota penting yang dilakukan dengan benar, akan mengha-silkan efek limpahan untuk menjadi daya ungkit wilayah sekitarnya. Martin et al. (2014) dari Universitas Cambridge mene-mukan bahwa daerah yang tumbuh cepat di Inggris berada di sekitar ibu kota London, sedangkan daerah utara yang jauh dari London tumbuh lambat.

Kedekatan dan keterhubungan pengetahuan yang produktif antar daerah inti dengan daerah limpahan sangat penting, karena efek limpahan ini akan berkurang dengan ber-tambahnya jarak (Rodríguez-Pose & Crescenzi, 2008).

Ini bisa kita lihat dengan pesatnya Jabodetabek dan Jawa, dan sepinya pulau lain. Bagaimana jika membangun 14 kota atau 40 kota lain sebagai pusat pertumbuhan baru di Indonesia, apakah ini solusi ketimpangan? Mari kita cermati studi yang diku-tip itu. Joshi et al., konsultan di Mumbai (2015), membu-at laporan ke World Bank (2019) yang mengatakan ada-nya kekurangan pembiayaan infrastruktur di 14 kota besar Indonesia pada 2014 sebesar US$11 miliar atau sekitar Rp270 triliun (konversi ke 2023).

Tetapi ternyata dari 14 kota tersebut, 50% atau 7 kota berada di Pulau Jawa-Bali, yaitu Bogor, Semarang, Surakarta, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Denpasar. Sisanya adalah Makassar, Lombok Barat, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, Bangka, dan Batam.

Konsekuensinya adalah dana terbesar akan dibelan-jakan untuk aglomerasi met-ropolitan Surabaya-Gresik-Sidoarjo, yaitu sebesar 41% atau Rp110,7 triliun. Lalu, lebih dari separo pembiayaan yaitu 60% akan diberikan lagi ke Jawa. Jadi kebijakan ini akan membuat ketim-pangan Jawa dan luar Jawa makin lebar. Pembangunan Jawa akan selalu menarik migrasi. Padahal beban Jawa sudah melampaui daya dukungnya.

Saat ini kepadatan penduduk Jawa adalah 1.317 jiwa/km persegi; sedangkan di pulau Sumatra 126 jiwa/km persegi dan Kalimantan 31,7 jiwa/km persegi. Apakah Jawa akan menjadi tempat hidup nyaman di masa depan jika pembangunan infrastruktur 14 kota ini dipenuhi tetapi magnet kuat Jakarta dan Jawa makin menarik migrasi dan memperkuat ketergan-tungan daerah lain ke Jawa?

Pembenahan kota apapun di Indonesia bukan cuma 14 atau 40 kota pasti baik dan diperlukan, serta sedang dilakukan. Kota berada di bawah kewenangan pemerin-tah daerah. Berbagai cara dan jalan membangun daerah dalam koridor otonomi dae-rah telah tersedia.

Selain PAD, ada berbagai dana alokasi dari pemerintah pusat, fasilitasi dan upaya mendorong Pemda untuk memperbaiki tata kelola ke-uangan sehingga mempunyai leverage untuk membangun infrastruktur, selain men-dorong KPBU yang lebih banyak di daerah. Masalahnya adalah hal baik ini perlu tapi tidak cukup (necessary but not sufficient) untuk membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.

Pusat pertumbuh-an ini adalah kunci pemera-taan pembangunan Indonesia yang holistik; yang menjadi ekosistem sehat perkotaan dan kewilayahan baru. Atau kita ingin tetap memelihara kebijakan yang sama sejak 50 tahun yang lalu: membangun sekaligus menekan Jawa dan mengabaikan potensi pulau lain? Itulah salah satu alasan kita membangun Nusantara, karena kita melihat Indonesia sebagai negara kesatuan yang besar, bukan hanya sebuah pulau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fauziah Zen
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper