Bisnis.com, JAKARTA -- Para tim kampanye atau pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) menanggapi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2023 yang stagnan di skor 34/100.
Skor IPK atau Corruption Perception Index (CPI) itu dirilis tahunan oleh Transparency International Indonesia (TII). Pada 2023, selain skornya stagnan, ranking IPK Indonesia juga turun dari 110 pada 2022 ke 115 pada 2023.
Para tim kampanye atau pemenangan dari tiga pasangan calon (paslon) pun menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi kemerosotan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Utamanya yakni menguatkan KPK, dengan salah satunya mengembalikan Undang-undang (UU) yang mengatur lembaga tersebut.
Misalnya, Co-Captain Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Thomas Lembong mengatakan perlunya pengembalian Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sebelum revisi pada 2019.
"Saya harus tegaskan ini pribadi saya, belum apa, resmi posisi kampanye saya pribadi justru berharap kita membatalkan total UU KPK 2019 sehingga kita kembali ke UU KPK yang 2002," katanya saat peluncuran IPK atau CPI di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Tidak hanya itu, mantan Menteri Perdagangan pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut menyinggung perlunya mereformasi sistem pendanaan partai politik.
Baca Juga
Sementara itu, Wakil Komandan Alpha (Teritorial) Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Fritz Edward Siregar menilai kendati mengalami stagnasi, pemberantasan korupsi di Indonesia masih lebih baik dari masa awal reformasi.
Fritz mengatakan bahwa capresnya menekankan pentingnya penguatan KPK dan pemberantasan korupsi secara sistemik dengan penguatan peran LHKPN, penguatan kepada ASN dan peningkatan kesejahteraan penegakan hukum dan para pejabat. Dia juga menyinggung bahwa hanya paslon 02 yang saat ini belum pernah dipanggil KPK dalam suatu proses hukum.
"Kalau bapak ibu bisa melihat dari paslon 02 Prabowo-Gibran yang sampai sekarang belum pernah dipanggil ke KPK bahkan belum pernah dipanggil sebagai saksi juga belum," tuturnya pada kesempatan yang sama.
Sementara itu, Deputi Bidang Hukum dan Advokasi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis juga menyinggung soal revisi UU KPK pada 2019. Menurutnya, IPK Indonesia bisa naik sampai dengan skor 48, dari capaian tertinggi Indonesia pada 2019 yakni skor 40, apabila tidak ada revisi UU KPK.
"Saya kira sih pada zaman Jokowi lah pemberantasan korupsi itu dibunuh. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi kita masih melihat angka kenaikan IPK, tetapi setelah itu pada periode kedua setelah revisi UU KPK secara sistematis dimatikan," ujarnya.
Advokat senior itu juga menyinggung bahwa perlunya pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset maupun RUU Pembatasan Uang Kartal, serta meningkatkan keterbukaan dan mengaudit proyek-proyek besar pemerintah seperti pengadaan alutsista hingga Food Estate.
Adapun skor IPK Indonesia di 2023 stagnan dengan perolehan tahun sebelumnya yakni sebesar 34/100. Posisi atau ranking Indonesia turun dari 110 ke 115 di antara 180 negara.
Skor IPK Indonesia juga berada di peringkat ke-6 di antara negara-negara Asean. Posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Timor Leste.
Adapun revisi UU KPK dari UU No.30/2002 menjadi UU No.19/2019 disahkan dalam rapat paripurna DPR 17 September 2019. Hampir seluruh parpol pengusung tiga pasangan capres-cawapres 2024 menyetujui revisi UU KPK sekitar lima tahun lalu.