Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu.
Hal ini disampaikannya usai menghadiri seremoni penyerahan Pesawat A-1344, Helikopter Fennec, dan Helikopter Panther Tahun 2024 di Lanud Halim Perdana Kusuma pada Rabu (24/1/2024).
Menurutnya, kampanye merupakan hak demokrasi dan hak politik setiap orang, sehingga setiap menteri baik yang terafiliasi partai politik (parpol) maupun nonparpol memiliki hak yang sama.
“Setiap menteri [haknya] sama saja, [bahkan] Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Namun, yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Jadi, boleh,” ujarnya kepada wartawan.
Kepala Negara mengatakan bahwa jabatan presiden pun juga merupakan pejabat publik sekaligus pejabat politik. “Masak [mau melakukan] begini enggak boleh, berpolitik enggak boleh. Boleh. Menteri juga boleh,” ucapnya.
Aturan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
Berikut aturan presiden boleh kampanye dan memihak berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)
Baca Juga
Mengutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai langkah presiden ikut kampanye dalam Pilpres atau Pemilu.
Menurut Pasal 280 ayat (2), pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan:
- Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
- Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
- Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
- Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
- Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di Lembaga nonstruktural;
- Aparatur sipil negara;
- Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- Kepala desa;
- Perangkat desa;
- Anggota badan permusyawaratan desa, dan
- Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih
Apabila presiden ingin mengikuti kegiatan kampanye pemilu, maka harus memenuhi ketentuan sesuai dengan Pasal 281 ayat (1):
- Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Menjalani cuti di luar tanggungan negara;
Fasilitas Negara yang Dilarang Digunakan untuk Kampanye
Sementara dalam melaksanakan kampanye, presiden, wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara. Fasilitas negara yang dimaksud antara lain dimuat dalam Pasal 304 UU Pemilu:
- Sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas pejabat negara, kendaraan dinas pegawai, atau alat transportasi dinas lainnya.
- Gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah pusat, pemerintah provinsi (pemprov), pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot), kecuali di daerah terpencil yang pelaksanaan kampanye harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan.
- Sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah, pemprov, pemkab, atau pemkot, dan peralatan lainnya.
- Fasilitas lainnya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Untuk fasilitas negara yang menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler kepada presiden dan wakil presiden tetap diberikan walaupun selama masa kampanye. Bahkan capres dan cawapres selama kampanye juga mendapatkan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan pengawalan yang pembiayaannya berasal dari APBN.
Hak Kampanye Presiden dan Wakil Presiden
Melansir dari mk.go.id, seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra mengujikan aturan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Menurutnya, terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri.
“Undang-Undang Pemilu belum mengantisipasi potensi intervensi atau penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh jabatan yang disebabkan keterikatan hubungan keluarga sedarah ataupun semenda antara presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dengan peserta pemilunya, baik itu pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota,” ujar kuasa hukum Pemohon, M. Iqbal Sumarlan Putra dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/12/2023).
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 3, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1), Pasal 286 ayat (2), Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Kuasa hukum kemudian mengatakan bahwa pemohon mengajukan tiga pokok pengujian atas ketentuan-ketentuan UU Pemilu yakni mengenai ketiadaan larangan mengikuti kampanye bagi jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota yang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan peserta Pemilu.
"Menurut Pemohon, dari tiga pokok pengujian itu, semuanya tidak hanya bersinggungan dengan penyelenggaraan Pemilu yang bebas, jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan 28F UUD 1945, tetapi juga bersinggungan secara langsung dengan etika pejabat publik atau penyelenggara negara ketika dihadapkan dengan kontestasi pemilu," kata Iqbal.
Diketahui, Pasal 299 Ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye".
Pemohon pun ingin MK mengubah ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 menjadi berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing."
Kemudian dalam Pasal 300 UU Pemilu, Presiden dan Wakil Presiden yang melaksanakan kampanye wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara.