Bisnis.com, JAKARTA - Starbucks berada di bawah ambang-ambang kontroversi hingga seruan boikot setelah menyerukan dukungannya terhadap Israel.
Menjelang akhir tahun, nilai Starbucks diproyeksikan hilang US$11 milar atau setara dengan Rp172 triliun.
Penurunan nilai ini disebut-sebut sebagai imbas boikot, di mana nilai sahamnya menurun drastis sejak pertengan November.
Melansir dari Vox, perusahaan kopi asal Seattle ini mengalami penurunan saham hingga 9% atau setara dengan US$11 miliar.
“Saham Starbucks mengalami penurunan beruntun dalam sejarah, dipengaruhi oleh berbagai faktor,” kata Siye Desta, analis ekuitas di CFRA Research, melalui email, dikutip dari Vox, Kamis (14/12/2023).
Data yang dikumpulkan oleh pihak ketiga menunjukkan lalu lintas dan penjualannya mungkin jauh dari ekspektasi Wall Street.
Baca Juga
Hal ini bukan berarti penjualan tidak tumbuh, namun pertumbuhannya tidak sebesar yang diperkirakan investor.
Bahkan menilik hal ini, Starbucks dinilai tidak sedang mengalami masa-masa sulit menjelang akhir tahun ini.
Namun memang Starbucks telah menjadi berita utama yang negatif mengenai cara mereka menangani hubungan dengan para pekerja yang berusaha membentuk serikat pekerja.
Kemudian banyak di antara mereka yang akhirnya mengundurkan diri pada bulan November pada Red Cup Day tahunannya, ketika Starbucks membagikan cangkir musiman yang dapat digunakan kembali secara gratis.
Selain itu, mereka juga terjebak dalam perang Israel-Hamas setelah sebuah tweet pro-Palestina dari serikat tersebut yang mendorong seruan boikot terhadap kelompok sayap kanan dan kiri, meskipun para analis mengatakan sulit untuk mengetahui dampaknya dari boikot terhadap bisnis aktual atau harga saham Starbucks.
“Saya rasa bukan protes yang mendorong hal ini,” kata Sara Senatore, analis riset senior di Bank of America.
Menilik dari waktunya, lalu lintas penurunan nilai saham tidak sejalan dengan boikot, katanya. Ditambah lagi, Starbucks tidak asing dengan kontroversi.
“Ini bukan pertama kalinya kami melihat aktivitas semacam ini, jadi menurut saya sulit untuk menyimpulkan bahwa itu (boikot)lah alasan penjualan sangat lambat,”
Di sisi lain, Analis riset ekuitas di Wedbush, Nick Setyan, menyuarakan hal yang sama.
“Boikot…bisa saja membuat sedikit perbedaan pada margin, dampaknya sangat kecil. Saya tidak melihat dampaknya akan bertahan lama,” katanya.