Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ironi BPK, Dikuasai Eks Politisi Hingga Terlilit Kasus Jual Beli Audit

BPK berada di titik nadir karena didera kasus suap dan korupsi yang terus menerus terjadi.
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta, Kamis (24/6/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta, Kamis (24/6/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Kasus suap yang terus menimpa pemeriksa atau auditor hingga petinggi di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuat lembaga ini berada di titik nadir.

BPK sebagai palang pintu terakhir untuk mewujudkan good governance justru terus diterpa isu tentang suap dan korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sosok anggota BPK seperti Achsanul Qosasi menjadi tersangka dalam perkara korupsi.

Selain Achsanul, nama Anggota VI BPK Pius Lustrilanang kini juga menjadi sorotan. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menggeledah dan menyegel ruangan mantan aktivis pro demokrasi tersebut.

Adapun kasus yang sering menjerat pemeriksa maupun pejabat BPK mulai dari ’jual beli’ opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hingga rekayasa hasil audit.

BPK telah meminta maaf atas maraknya oknum pegawai bahkan pimpinannya yang terjerat perkara rasuah. "BPK sangat menyesalkan dan pada kesempatan ini sekaligus kami meminta maaf kepada masyarakat atas berbagai kejadian belakangan ini yang diduga melibatkan oknum BPK," kata Inspektur Utama BPK Nyoman Wara pada konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/11/2023). 

BPK sebagai lembaga auditor negara memiliki peran cukup strategis untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih. Ini adalah alat negara yang bisa menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan demokratisasi di Indonesia, khususnya proses pengelolaan anggaran.

Namun demikian, kinerja BPK dan kasus yang belakangan ini menimpa elite-elitenya menimbulkan syak sawangka, tentang netralitas BPK. Apalagi sebagain besar elite atau anggota BPK merupakan bekas atau setidaknya memiliki latar belakang politisi. Dari 9 anggota BPK, hanya tiga yang berasal dari profesional, selebihnya pernah terafiliasi dengan partai politik.

Ketua BPK Isma Yatun, misalnya, adalah mantan anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP). Dia pernah menjadi anggota DPR dari tahun 2006 hingga tangun 2017. Selepas dari DPR, dia terpilih sebagai anggota BPK.

Selain Isma Yatun ada juga Daniel Lumban Tobing. Daniel adalah mantan politisi PDIP. Dia pernah menjabat sebagai anggota DPR dari tahun 2009 hingga tahun 2019.

Mantan politikus lainnya adalah Achsanul Qosasi. Achsanul saat ini berstatus sebagai tersangka dalam perkara korupsi BTS Kominfo. Dia telah ditahan oleh Kejaksaan Agung. Achsanul juga mantan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat.

Selanjutnya ada sosok Haerul Saleh yang merupakan mantan politikus Gerindra. Dia juga pernah menjadi anggota parlemen. Mantan politikus Gerindra lainnya yang menjabat anggota BPK adalah Pius Lustrilanang. Pius saat ini disorot usai KPK menyegel dan mengeledah ruang kerjanya.

Politikus atau bekas politikus terakhir yang menjabat sebagai elite di BPK adalah Ahmadi Noor Supit. Dia adalah bekas anggota DPR dan dikenal sebagai politikus Partai Golkar.

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Jakarta Ferdian Andi mengungkapkan pentingnya membatasi batas minimal seorang politisi bisa dicalonkan sebagai anggota BPK untuk menghindarkan tuduhan BPK dikendalikan oleh elite politik. 

"Akibat ketiadaan aturan itu, muncul anggapan terdapat kepentingan politik. Harusnya seperti itu bisa dihindari," tukasnya dikutip dari Harian Bisnis Indonesia edisi Rabu (15/11/2023).

Kasus di KPK

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah bukti terkait dugaan pengondisian laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Sorong saat menggeledah ruang kerja Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pius Lustrilanang, Rabu (15/11/2023). 

Ruangan kerja Pius menjadi lokasi penggeledahan oleh penyidik KPK terkait dengan perkara yang bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. 

"Di tempat tersebut, ditemukan dan diamankan bukti antara lain terkait dengan berbagai dokumen, catatan keuangan dan bukti elektronik yang diduga kuat erat kaitannya dengan penyidikan perkara ini," kata Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, dikutip Jumat (17/11/2023). 

Selanjutnya, bukti-bukti yang didapatkan dari ruangan kerja Pius akan disita dan dianalisis guna melengkapi berkas perkara penyidikan.

Sebelum digeledah, Ketua KPK Firli Bahuri mengonfirmasi bahwa ruangan Pius telah disegel sejalan dengan penyidikan kasus di Sorong tersebut.

Meski demikian, Firli tak mengungkap seperti apa status hukum dari Pius dalam kasus tersebut. Dia hanya menyebut auditor negara itu perlu untuk dimintai keterangan. 

"Tentu mengenai keterkaitan Anggota VI BPK perlu dimintai keterangan karena kita bekerja secara profesional," terang mantan Kabaharkam Polri itu pada konferensi pers, Selasa (14/11/2023).  

Tetapkan Enam Tersangka

KPK telah menetapkan enam tersangka dalam kasus pengondisian temuan BPK pada laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Sorong. 

Mereka adalah Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso, Kepala BPKAD Sorong Efer Segidifat, Staf BPKAD Sorong Maniel Syatfle, Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing, Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung, Kasubaud BPK Papua Barat Abu Hanifa. 

KPK menduga bahwa suap pengondisian temuan laporan BPK itu terkait dengan pemeriksaan kepatuhan atas belanja daerah tahun anggaran (TA) 2022 dan 2023 Pemkab Sorong dan instansi terkait lainnya di AIMAS termasuk Papua Barat Daya. 

Kemudian, BPK melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atau PDTT dan menemukan beberapa laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Para tersangka dari Pemkab Sorong itu pun diduga menyerahkan uang yang disebut 'titipan' untuk para pemeriksa BPK guna mengondisikan temuan tersebut. 

Bukti permulaan awal yang ditemukan KPK terkait dengan penyerahan dari Yan Piet Mosso dan anak buahnya yakni Rp940 juta dan satu jam tangan Rolex, sedangkan bukti awal penerimaan oleh para pejabat BPK yakni Rp1,8 miliar.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper