Bisnis.com, JAKARTA - Kremlin mengatakan bahwa pihaknya memperkirakan Barat akan menjatuhkan sanksi yang lebih keras terhadap negaranya terkait perang di Ukraina, pada Kamis (2/11/2023). Namun, hukuman tersebut juga akan merugikan kepentingan Barat, karena perekonomian Rusia beradaptasi dengan baik.
Presiden Vladimir Putin menyiapkan perekonomian senilai US$2,1 triliun (Rp33.261,7 triliun) untuk menghadapi perang jangka panjang dan harapan negara-negara Barat untuk memicu krisis ekonomi Rusia dengan cepat melalui sanksi terberat yang pernah dijatuhkan meski belum terwujud.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Rusia sebesar 2,2% pada tahun ini, itu lebih cepat dibandingkan Amerika Serikat (AS) meskipun pada bulan lalu menurunkan perkiraan pertumbuhan 2024 menjadi 1,1%.
Melansir Reuters, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov memberikan pernyataan terkait perkiraan AS akan menjatuhkan sanksi lebih lanjut.
“Harapannya adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa akan terus menciptakan sanksi baru, meskipun mereka jelas kekurangan ide. Baik di AS maupun di UE, ada pemahaman bahwa paket yang ada saat ini merugikan kepentingan negara-negara yang telah menjatuhkan sanksi ini,” kata Peskov.
Para pemimpin Barat mengatakan sanksi yang diterapkan terhadap Rusia, pemilik sumber daya alam terbesar di dunia, adalah sanksi terberat yang pernah dijatuhkan terhadap negara-negara dengan perekonomian besar.
Negara-negara Barat telah membekukan ratusan miliar dolar uang Rusia, namun Putin bercanda dengan mengatakan bahwa sanksi tersebut tidak menghentikan impor barang-barang Barat seperti Mercedes mewah ke Rusia.
Lebih lanjut, Rusia akan berupaya untuk melemahkan sanksi tersebut dengan membeli apapun yang mereka inginkan di pasar global.
Peskov mengatakan perekonomian Rusia telah beradaptasi dengan baik terhadap sanksi tersebut dan cukup berhasil dalam beroperasi dengan kondisi baru.
“Tekanan sanksi akan terus berlanjut, dan akan ada upaya untuk memperkuatnya,” kata Peskov.