Bisnis.com, JAKARTA -- Cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbuntut panjang. Setelah lama tertidur pulas, DPR akhirnya bangun. Mereka mulai menggulirkan wacana hak angket dan pemakzulan tehadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wacana hak angket dan pemakzulan mengemuka ke publik menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga sarat kepentingan sebagian pihak. Putusan MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu terjadi hanya 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran peserta Pilpres 2024.
Isu yang santer terdengar, putusan MK tersebut hanya untuk memberikan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Suatu putusan yang kemudian berbuntut kepada pelaporan paman Gibran, Anwar Usman, ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR RI Masinton Pasaribu merasa putusan MK nomor 90 itu sebagai tragedi konstitusi. Dia merasa MK telah mempermainkan konstitusi dengan pragmatisme politik yang sempit.
"Saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi, dan demokrasi ini. Ini kita berada dalam situasi yang ancaman konstitusi," ujar Masinton dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Dia mengingatkan Reformasi '98 telah mengamankan negara dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Meski demikian, Masinton merasa putusan MK seakan melanggengkan KKN.
Baca Juga
Oleh sebab itu, legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta II ini ingin DPR menggunakan hak angketnya untuk menyelidiki polemik putusan MK.
"Kita harus sadarkan bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak. Kita harus menggunakan hak konstitusional yang dimiliki oleh lembaga DPR," ujar Masinton.
Sebagai informasi, dalam sejarahnya, DPR belum pernah menggunakan hak angket untuk menyelidiki keputusan dari lembaga yudikatif layaknya MK. DPR hanya pernah menggunakan hak angketnya ke lembaga pemerintahan.
Dilansir dari situs resmi DPR, hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, putusan MK nomor 90 memang banyak menuai kontroversi. Bahkan, MK telah membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) untuk menyelidiki polemik putusan itu. Terbaru, MKMK yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie akan menjatuhkan putusan mengenai dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi pada pekan depan, Selasa (7/11/2023).
Pemakzulan Jokowi
Sebelum wacana hak angket muncul, pengamat dan konsultan politik Eep Saefullah Fatah menilai bahwa saat ini Presiden Jokowi tengah dalam ancaman pemakzulan yang terpicu oleh empat faktor.
Salah satunya, akibat dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk berlaga di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Pendiri dan CEO PolMark Indonesia (Political Marketing Consulting) itu pun menilai bahwa putusan yang disinyalir memberi lampu hijau bagi anak muda untuk bersaing di politik, justru meredam demokrasi di Tanah Air.
Eep pun menjelaskan kondisi tersebut dengan mengilustrasikan sebagai seorang penumpang dari sebuah kapal yang bernama Demokrasi Indonesia yang dinilainya terlihat akan karam.
“Indonesia yang akan karam itu. Saya adalah penumpangnya. Saya bukan penonton di pantai yang akan menonton Indonesia tenggelam,” katanya dalam youtube Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Kamis (26/10/2023).
Lebih lanjut dia meyakini bahwa semua orang di Indonesia memiliki keresahan yang sama. Dia memerinci terdapat empat faktor yang meningkatkan potensi pemakzulan Jokowi.
Pertama, terbukti ada skandal yang terverifikasi secara hukum dan politik yang menyangkut langsung pada orang nomor satu di Indonesia itu. Menurutnya, Jokowi harus berhati-hati dengan persoalan di MK hingga pengusungan putra sulungnya sebagai cawapres Prabowo Subianto.
“Pokoknya sekarang presiden menggunakan kekuasaannya dengan menciptakan situasi yang sekarang dengan ditandai nepotisme yang sangat akut,” ujarnya.
Kedua, dia menilai ada kegagalan kebijakan yang dirasakan secara nyata. Sayangnya, kata Eep, keterbukaan ini justru tertutup oleh survei yang memberikan kepalsuan bagi publik melalui kepuasan kepada pemerintah di atas 70 persen.
Ketiga, adalah resistensi parlemen yang melembaga dan kuat, sampai kemudian meluas dan tersokong oleh resistensi oposisi dan lain gerakan di luarnya.
"Sehingga benar bahwa presiden mengendalikan partai begitu rupa, dengan cara memberikan kedudukan di pemerintahannya. Dengan itu kemudian Presiden bisa menjadi ketua pembina partai. Ditambah lagi dengan peristiwa Jokowi membentuk kabinet pertama dan kedua,” katanya.
Dia menyebut bahwa kabinet pertama, calon menteri harus dinilai dulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga terkesan mencitrakan bahwa pasukan Jokowi di awal kepemimpinannya sangat menimbang bersihnya calon-calon menteri yang akan dipilih.
“Namun, apa yang terjadi di kabinet kedua, saya lihat kecenderungan presiden adalah senang menginjak kaki seseorang untuk mengendalikan orang itu secara politik,” katanya.
Keempat, ujar Eep saat ini keresahan publik kian meluas. Meskipun banyak anggapan belum terlihat meluas, tetapi dia melanjutkan bahwa saat ini kemarahan publik banyak terpendam.
Bahkan, menurutnya, saat ini Jokowi tengah berada dalam waktu di ujung tanduk dalam menunjukkan gaya kepemimpinannya.
“Karena berbahaya. Salah langkah, bisa berbahaya,” pungkas Eep.