Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengatakan bahwa lebih dari 60 persen korban jiwa serangan terhadap warga sipil di Gaza adalah perempuan dan anak-anak.
Dia menekankan bahwa perempuan menjadi korban pertama dalam ketiadaan dan merebaknya rasa tidak aman.
"Apa yang terjadi di Gaza dalam sepekan terakhir ini mencerminkan realitas hari ini. Lebih dari 60% korban jiwa dari serangan terhadap warga sipil adalah perempuan dan anak-anak," katanya, dalam debat terbuka Dewan Keamanan PBB, di New York, Rabu (25/10/2023).
Retno mengatakan meskipun ada upaya global untuk pemberdayaan dan seruan untuk kesetaraan, kenyataan bagi perempuan masih jauh dari ideal.
"Perempuan merupakan setengah dari populasi dunia, oleh karena itu, perempuan harus dilihat sebagai bagian integral dari solusi dan agen perdamaian yang efektif," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menekankan tiga poin mengedepankan hak-hak perempuan di Gaza. Pertama, menghidupkan kembali pemahaman mendasar tentang partisipasi perempuan.
Baca Juga
Menurutnya, memberdayakan dan melibatkan perempuan tidak boleh dilihat sebagai beban, melainkan sebagai investasi. Sebuah standar global yang harus diperjuangkan oleh semua orang.
Dia menekankan pemberdayaan dan partisipasi perempuan yang bermakna di bidang ekonomi, sosial dan politik akan memperkuat ketahanan masyarakat, berkontribusi pada perdamaian yang lebih besar.
"Saya telah melihat hal ini dengan mata kepala saya sendiri, kontribusi positif dari pasukan penjaga perdamaian perempuan di lapangan," ujarnya.
Kedua, berinvestasi pada kepemimpinan perempuan dalam proses perdamaian. Dia mengatakan bahwa data menunjukkan partisipasi perempuan meningkatkan kemungkinan tercapainya kesepakatan perdamaian.
Namun, menurutnya perempuan masih kurang terwakili dalam proses perdamaian, dan sering kali tidak diperlengkapi untuk peran yang mereka ambil dalam skenario konflik.
"Oleh karena itu, kita harus berinvestasi lebih banyak pada peran perempuan, termasuk di dalam sistem PBB, untuk memastikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perempuan untuk berhasil dan berkembang dalam proses perdamaian global," ucapnya.
Ketiga, mempromosikan pendidikan bagi perempuan. Retno menekankan bahwa pendidikan tetap menjadi kunci untuk mendobrak hambatan dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam masyarakat.
"Namun, di Afghanistan, lebih dari 80 persen perempuan dan anak perempuan usia sekolah tidak bersekolah. Hal ini sangat memprihatinkan, padahal pendidikan inklusif merupakan dasar dari masa depan yang lebih baik bagi Afghanistan," tambahnya.
Menlu RI menyatakan bahwa Indonesia bekerja sangat keras untuk mempromosikan akses pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
Indonesia tetap berkomitmen untuk memberikan beasiswa dan pelatihan bagi perempuan Afghanistan, dan terus membangun lingkungan yang kondusif dan dan masyarakat yang inklusif demi terciptanya perdamaian abadi di Afghanistan.