Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Derita Warga Gaza Kekurangan Air Bersih dan Makanan: Jika Mandi, Kami Tidak Minum

Di jalur Gaza, sejumlah orang mengantre di kamar mandi, banyak dari mereka belum mandi selama berhari-hari setelah Israel memutus aliran air, listrik.
Reaksi perempuan dan anak-anak Palestina setelah serangan Israel di Kota Gaza 15 Oktober 2023. REUTERS/Mutasem Murtaja
Reaksi perempuan dan anak-anak Palestina setelah serangan Israel di Kota Gaza 15 Oktober 2023. REUTERS/Mutasem Murtaja

Bisnis.com, JAKARTA - Di jalur Gaza bagian Selatan, sejumlah orang mengantre di kamar mandi, banyak dari mereka belum mandi selama berhari-hari setelah Israel memutus aliran air, listrik, dan makanan menyusul serangan mematikan Hamas.

Ahmed Hamid, 43, meninggalkan Kota Gaza bersama istri dan tujuh anaknya, menuju ke Rafah setelah tentara Israel pada hari Jumat (13/10/2023), memperingatkan penduduk di Utara wilayah kantong tersebut untuk menuju ke Selatan “demi keselamatan mereka sendiri”.

"Kami sudah berhari-hari tidak mandi. Bahkan pergi ke toilet pun harus mengantre," kata Hamid melansir CNA, Senin (16/10/2023).

Tidak ada makanan. Semua barang tidak tersedia dan harga makanan yang tersedia melonjak. Satu-satunya makanan yang kami temukan hanyalah kaleng tuna dan keju, lanjutnya.

“Saya merasa seperti beban, tidak mampu berbuat apa-apa.”

PBB memperkirakan sekitar satu juta orang telah mengungsi sejak Israel memulai pemboman udara tanpa henti di Gaza sebagai pembalasan atas serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober.

Serangan Hamas menyebabkan lebih dari 1.400 orang tewas di pihak Israel, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil. Di wilayah Gaza, setidaknya 2.670 orang tewas dalam pemboman tanpa henti tersebut, sebagian besar dari mereka adalah warga biasa Palestina.

Israel juga memutus semua pasokan air, listrik dan makanan ke wilayah pesisir yang padat penduduknya, sebelum melanjutkan pasokan air ke selatan pada hari Minggu (14/10/2023).

Mona Abdel Hamid, 55, meninggalkan rumahnya di Kota Gaza, menuju rumah kerabatnya di Rafah. Sebaliknya, dia mendapati dirinya berada di rumah orang yang tidak dia kenal.

"Saya merasa terhina dan malu. Saya mencari perlindungan. Kami tidak mempunyai banyak pakaian dan sebagian besar pakaian sekarang kotor, tidak ada air untuk mencucinya. Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada internet. Saya merasa seperti kehilangan rasa kemanusiaan saya,” ujarnya.

Sejak Jumat (13/10/2023), Sabah Masbah, 50, tinggal bersama suami, putrinya, dan 21 kerabat lainnya di rumah temannya di Rafah.

“Hal terburuk dan paling berbahaya adalah kami tidak dapat menemukan air. Saat ini tidak ada dari kami yang mandi karena air sangat langka,” katanya.

Di rumahnya di Khan Yunis, dekat sekolah yang dikelola oleh badan PBB yang mendukung pengungsi Palestina, Esam mengatakan: “Kami menerima tamu yang mengungsi dari wilayah Kota Gaza, lingkungan Al-Rimal dan Tal al-Hawa.”

Tapi, air adalah masalah, kata pria berusia 23 tahun yang tidak mau menyebutkan nama lengkapnya.

“Setiap hari kami memikirkan cara mendapatkan air… Jika kami mandi, kami tidak akan minum.”

Mereka yang mengungsi di sekolah-sekolah UNRWA juga putus asa mencari makanan dan air.

Direktur komunikasi UNRWA Juliette Touma mengatakan bahwa semakin banyak orang akan menjadi pengungsi karena orang-orang terus meninggalkan rumah mereka.

Israel mengerahkan pasukan dan senjata di perbatasan dengan Gaza menjelang serangan darat yang diperkirakan akan dilakukan.

Meskipun ada perintah evakuasi Israel, ada serangan udara di Selatan, termasuk di Rafah, di mana seorang warga mengatakan rumah seorang dokter menjadi sasarannya.

“Seluruh keluarga musnah,” kata pengungsi bernama Khamis Abu Hilal.

Alaa al-Hams menunjuk pada tanda-tanda baru penembakan di sebuah lingkungan di Rafah.

"Saya melihat kehancuran besar-besaran. Mereka bilang ada terorisme di sini. Di manakah kemanusiaan yang mereka bicarakan?"

Semuanya adalah warga sipil di sini, dan tidak ada hubungannya dengan organisasi apa pun, namun mereka tewas...tidak ada seorang pun yang masih hidup, lanjutnya.

Pengungsi lain, Samira Kassab berdiri di atas sisa-sisa rumahnya di Rafah, sambil bertanya: "Ke mana kita akan pergi? Ke manakah negara-negara Arab?

“Kami menghabiskan seluruh hidup kami dalam pengungsian. Rumah kami, yang menampung semua anak saya, dihantam… Kami tidur di jalanan dan tidak ada yang tersisa. Kami diisolasi. Putri saya mengidap kanker dan saya tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Saya sendiri menderita hipertensi dan diabetes," katanya.

Namun dia dengan menantang mengangkat tanda kemenangan dengan tangannya.

Dikelilingi oleh cucu-cucunya, dia berkata: "Saya tidak akan pergi, apa pun yang terjadi, bahkan jika saya mati. Kami meminta roti dari tetangga kami, namun kami tidak akan berpisah dengan sebutir pasir pun."


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nancy Junita
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper