Bisnis.com, JAKARTA -- Berbeda dengan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta Hadiningrat bernasib tragis pasca proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Revolusi sosial berkecamuk. Dinasti politik yang memimpin Jawa selama lebih dari ratusan tahun, pudar pengaruhnya. Statusnya hanya sebatas simbol.
Solo adalah salah satu wilayah paling penting selama pergerakan nasional hingga revolusi kemerdekaan. Di kota ini, Sarekat Dagang Islam, cikal bakal Sarekat Islam yang melegenda lahir. Solo juga menjadi tempat pertentangan keras antara gerakan anti-raja yang juga anti-feodalisme dengan pendukung raja.
Gerakan anti-raja dimotori oleh Cipto Mangunkusumo, konco Soewardi Soerjoningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Sementara itu, lawan kelompok Cipto adalah gerakan pro monarki yang dibeking sejumlah kalangan bangsawan Kraton, Boedi Oetomo hingga Sarekat Islam (SI).
Cipto memang secara keras melancarkan kritik terhadap dinasti politik di Solo. Dia merasa penguasa-penguasa tradisional di wilayah itu membebani rakyatnya. Lulusan sekolah dokter Jawa itu kemudian mengusulkan supaya raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwono dan penguasa Mangkunegaran yakni Mangkunegara dipensiunkan. Suatu ide yang sangat progresif ketika pengaruh kolonial dan kekuasaan raja-raja di Vorstenlanden masih sangat kuat pada waktu itu.
Gerakan Cipto, jika memakai istilah Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak, adalah bagian dari sebuah fase radikalisasi rakyat Jawa pada zaman pergerakan. Radikalisasi ini merupakan implikasi dari tumbuhnya pengaruh ide-ide dalam pemikiran modern yang dipadukan dengan semangat untuk membebaskan bangsa bumiputra dari cengkeraman kaum kolonial Belanda dan antek-anteknya.
Ide-ide progresif dari tokoh-tokoh seperti Cipto kemudian Hadji Misbach alias Haji Merah kemudian memicu aksi protes, pemogokan dan kasak-kusuk tentang rencana menumbangkan kekuasaan Belanda dan penguasa feodal. Sayangnya tak semua aksi itu berhasil. Cipto bernasib tragis. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Cipto ke daerah yang tidak bertutur dalam bahasa Jawa. Misbach dibuang ke Manokwari.
Baca Juga
Jalannya Revolusi
Setelah proklamasi, kehidupan Solo juga nyaris tidak stabil. Bahkan bisa dibilang berada di titik nadir. Solo pasca proklamasi, sering dilanda konflik mulai dari konflik suksesi, revolusi sosial, gerakan anti-swapraja, hingga benturan antar ideologi, kiri dan kanan pada 1948, yang berlangsung cukup keras.
Penguasa Kraton Solo sebenarnya telah sejak awal menyatakan dukungan dan pengintegrasian dengan republik Indonesia yang baru lahir. Wilayah tradisional Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara kemudian menjadi daerah istimewa. Namanya Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Konsepnya seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sampai sekarang masih eksis.
DIS mencakup kawasan yang disebut sebagai Soloraya. Wilayah ini sekarang meliputi Kota Surakarta, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Klaten, hingga Boyolali.
Namun jalan sejarah DIS dan DIY sangat jauh berbeda. Di Yogya tidak pernah terdengar suatu revolusi sosial. Jarang terdengar gerakan anti-Sultan pada masa awal-awal revolusi kemerdekaan.
Sebaliknya, di Solo, situasinya seperti kembali kepada era ketika Cipto menyerang Pakubuwono X. Gerakan anti-raja atau lebih tepatnya anti-swapraja tumbuh subur. Mereka menentang eksistensi kekuasaan dinasti politik pewaris Mataram yang berkuasa ratusan tahun lamanya.
Barisan Banteng (BB) adalah salah satu kelompok yang memiliki peran penting dalam gerakan ini. Barisan Banteng, dipimpin oleh sosok dr Moewardi. Moewardi kini menjadi salah satu rumah sakit di kota Bengawan tersebut. BB berperan besar dalam sepak terjang gerakan anti-Swapraja.
Solo Wild West
Penulis biografi Tan Malaka, Harry A Poeze, dalam Madiun 1948: PKI Bergerak menyebut bahwa saking tidak stabilnya, Solo disebut oleh banyak pihak, termasuk Jenderal AH Nasution sebagai 'Wild West'. Wilayah tidak bertuan alias liar.
Solo menjadi medan pertempuran. Orang bebas menenteng senjata. Bentrokan dan desingan peluru terjadi saban waktu. Ini terjadi menjelang pecahnya peristiwa bentrokan bersenjata antara pasukan republik dengan pasukan kiri di bawah PKI.
"Kubu kiri menganggap sangat penting mempertahankan Solo. Karenanya kota ini akan dibuah menjadi sebuah Wild West," tulis Poeze.
Rentetan peristiwa dan aksi kekerasan tersebut membuat tentu membuat kondisi Solo semakin tidak stabil. Pengaruh Kraton dan sisa-sisa kekuasaan feodal di Surakarta terus meredup. Bekas wilayah kekuasaan yang menjadi penopang utama perekonomian Kraton lenyap.
Padahal Solo seperti yang disinggung di atas, pernah memiliki status yang sama sebagai Daerah Istimewa. Penetapan status dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno. Namun usia Daerah Istimewa Surakarta (DIS) hanya seumur jagung. Pada tahun 1946, DIS dibubarkan karena konflik dan menguatnya gerakan anti-swapraja.
Gerakan ini dipelopori oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung revolusi sosial dan anti terhadap sisa-sisa kekuasaan feodal. Kelompok yang paling terkenal dalam gerakan ini adalah Barisan Banteng dengan tokohnya dr Moewardi.
Selain Barisan Banteng, Solo atau Surakarta juga menjadi pusat gerakan Persatuan Perjuangan (PP). Salah satu tokoh gerakan itu adalah Tan Malaka. Kelompok ini mengambil jalan oposisi dan menolak praktik kompromistis pemerintahan Sukarno. Salah satu semboyan PP yang terkenal adalah 'Merdeka 100 Persen!"
Selama gerakan anti-swapraja berkecamuk, para elite Kraton menjadi sasaran kelompok Anti-swapraja. Gerakan ini menculik dan membunuh Patih Sosrodiningrat. Kepatihan dibakar dan hancur lebur. Raja Kasunanan yang masih muda, Pakubuwono XII juga tak luput menjadi sasaran penculikan.
Ada banyak pendapat tentang alasan penculikan tersebut. Campur tangan para pangeran atau elite kraton yang tersisih selama proses suksesi dari Pakubuwono XI ke Pakubuwono XII dianggap berperan cukup penting dalam gegeran di Solo pada waktu itu.
Sementara itu, salah satu publikasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang menukil buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia karya Jenderal Abdul Haris Nasution memaparkan kisruh di Solo terjadi karena raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati republik saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949.
Pada waktu itu, pihak TNI bahkan telah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol Suryo Sularso diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun rupanya waktu itu, rakyat dan tentara justru ingin menghapus kekuasaan monarki sama sekali.
Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Dia meminta para raja secara tegas memihak republik. "Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non-Koperasi," demikian dikutip dari publikasi itu.
Karena kondisi yang tidak kondusif, pemerintah pusat kemudian mengambil inisiatif untuk membubarkan DIS. Statusnya menjadi daerah biasa. Pada 1950, bekas daerah tersebut kemudian masuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah.
Sejak saat itu jalan sejarah penerus wangsa Mataram Islam itu berubah. Peran Kasunanan sebagai pusat politik dan kebudayaan Jawa yang dulu cukup berpengaruh, terutama saat kepemimpinan Pakubuwono X, menjadi sebatas simbol budaya itupun semakin meredup karena konflik keluarga yang nyaris tidak berkesudahan.