Jika yang didapat Xi hanyalah “janji-janji kosong”, sanksi tambahan, dan penambahan kekuatan Taiwan, maka China mungkin tidak melihat gunanya menghadiri pertemuan puncak tersebut.
Pertimbangan lain, termasuk menangani jaringan korupsi yang luas dan berpotensi berbahaya di kalangan militer, dapat menambah daftar alasan Xi untuk tak hadir, kata Russel.
Bulan lalu, Beijing memperbarui kepemimpinan senior Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), yang merupakan gudang senjata nuklir dan rudal negara tersebut, sehingga meningkatkan spekulasi bahwa mereka meningkatkan upaya anti-korupsi di militer.
Selain itu, Russel menyatakan bahwa pemerintah China juga memiliki ketakutan yang tidak wajar terhadap Xi yang akan dipermalukan di luar negeri dan kemungkinan protes di San Francisco yang akan menghantui impian para pejabat yang bertanggung jawab atas pertemuan tersebut.
“Mungkin gambaran jabat tangan persahabatan dengan Biden sulit dicocokkan dengan suasana sangat nasionalis yang dihembuskan oleh aparat propaganda Partai Komunis China,” katanya.
Namun, Wang Huiyao, pendiri lembaga pemikir Center for China and Globalization (CCG) yang berbasis di Beijing, mengatakan perkembangan baru-baru ini antara AS dan China adalah tanda-tanda positif yang mengarah pada pertemuan Xi-Biden.
Baca Juga
Kedua negara adidaya ini telah berupaya untuk melanjutkan komunikasi dalam beberapa bulan terakhir, dengan kunjungan para pejabat tinggi AS ke China termasuk Menteri Luar Negeri Antony Blinken, Menteri Keuangan Janet Yellen, dan Menteri Perdagangan Gina Raimondo.
Diplomat utama China, Wang Yi, mengadakan pembicaraan dengan penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan bulan lalu, sementara Wakil Presiden Han Zheng bertemu Blinken secara terpisah.
Pada Rabu (27/9/2023), Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan Blinken membahas potensi pertemuan puncak Xi-Biden ketika dia bertemu Han, dan mengatakan bahwa AS yakin pertemuan itu penting seraya berharap hal itu akan terjadi.
“Ada momentum baik pertukaran tingkat tinggi yang terjadi antara kedua belah pihak. Saya pikir pemerintah China dan AS sama-sama menganggap ini penting dan merupakan waktu yang tepat untuk bertemu,” kata Wang Huiyao.
Menurutnya, gelombang interaksi belakangan menunjukkan bahwa kedua negara berharap untuk memperbaiki hubungan, dan ada peningkatan harapan bagi kedua pemimpin untuk bertemu setelah kunjungan tingkat tinggi itu.
Dirinya menambahkan bahwa China dan AS sama-sama ingin memperoleh manfaat dari hubungan yang lebih stabil, dan komunitas internasional juga berkepentingan untuk melihat kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut mencapai hubungan normal.
Russel mengatakan perkembangan terakhir menunjukkan ada keinginan baru China untuk mencapai stabilitas dalam urusan luar negeri, khususnya dengan AS.
“Sekarang kami melihat adanya keinginan untuk setidaknya untuk sementara waktu mengurangi ketegangan, menghentikan retorika keras, menerima kunjungan tingkat tinggi, dan menghilangkan hubungan erat antara kepentingan asli dengan kerja sama apa dengan China,” katanya.
Pergeseran ini, ujar Russel, dapat dilatarbelakangi oleh hambatan ekonomi yang serius dan masalah domestik yang dihadapi China, atau sebagai upaya yang bijaksana untuk menunggu hasil pemilu AS tahun depan.
“Tetapi dalam kedua kasus tersebut, stabilisasi tampaknya menjadi semboyan untuk mendukung keputusan Xi menghadiri APEC dan mengadakan pertemuan lagi dengan Biden, dengan harapan bisa memperlambat langkah AS untuk membatasi China dalam bidang teknologi dan bidang lain," pungkasnya.