Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Tambah Garis Klaim di Natuna, Hikmahanto: Pemerintah Harus Berani!

China merilis peta baru Laut China Selatan, menambah satu garis putus-putus yang diklaim sebagai wilayah tradisional RRC.
Ilustrasi peta kawasan Laut China Selatan. China mengklaim secara sepihak hampir semua Laur China Selatan, dan menerapkan area udara pertahanan di atas wilayah itu. Sampai kini China tidak menetapkan koordinat pasti Sembilan Garis Putus-putus, yang kini ditambah satu garis yang dijadikan dasar klaim sepihak mereka./beforeitnews.com
Ilustrasi peta kawasan Laut China Selatan. China mengklaim secara sepihak hampir semua Laur China Selatan, dan menerapkan area udara pertahanan di atas wilayah itu. Sampai kini China tidak menetapkan koordinat pasti Sembilan Garis Putus-putus, yang kini ditambah satu garis yang dijadikan dasar klaim sepihak mereka./beforeitnews.com

Bisnis.com, JAKARTA- Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, Ph.D  menilai bahwa klaim kewilayahan Republik Rakyat Cina (RRC) yang dipertegas melalui rilis mereka akhir Agustus 2023 lalu bukan sekadar dalam peta.

Oleh karenanya, dia memuji pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi, yang berani tegas terhadap RRC meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan Cina.

Hal tersebut ditegaskan juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta pada akhir pekan ini.

“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto, akademisi dan Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, dikutip pada Sabtu (29/3/2023).

Selain Hikmahanto, diskusi juga dihadiri Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan, dimoderatori Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang.

Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.

“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC, yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu, tidak ada, dan sebagai konsekwensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan. Kedua, kita harus melakukan pengabaian, bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE kita tersebut, dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tutur Hikmahanto.

Guru besar Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah. “Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan Cina pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.

Menurut Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan, yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.” Namun menurutnya, “Indonesia memperjuangkannya melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional, sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional, bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut),” jelasnya.

Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspon dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim Cina tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.

Profesor Hikmahanto juga menjelaskan bahwa berbeda dengan negara-negara di atas, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan dengan RRC. “Tetapi garis putus-putus RRC menerabas hak berdaulat Indonesia, yaitu perairan internasional yang menjadi  ZEE kita di Perairan Natuna Utara,” jelasnya.

Hikmahanto menilai kalau RRC mengatakan bahwa mereka tidak ada masalah dengan kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna, pemerintah tidak boleh terkecoh. “Karena memang yang mereka klaim adalah wilayah ZEE kita di perairan dekat kepulauan itu,” pungkasnya.

Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif.  Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk RRC, negara itu semakin membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.

Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif.  

Senada dengan Hikmahanto,  pembicara berikutnya, Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu. Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan di atas dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu. 

“Pertama adalah interpretasi versi Cina, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal Cina, agar publik Cina melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.

Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya China memberi sinyal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain.   “Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper