Bisnis.com, JAKARTA – Program pengembangan bisnis dukungan pemerintah Indonesia dan Australia, Katalis menggelar dialog publik yang memaparkan sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia tidak dapat mengakses teknologi yang diperlukan dalam dunia pekerjaan.
Berdasarkan data Bank Dunia yang dihimpun Katalis, dari sekitar 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia, banyak di antaranya yang tidak dapat mengakses teknologi penunjang penting yang diperlukan untuk partisipasi penuh dalam pekerjaan. Sesuai penelitian Bank Dunia, hal ini berpotensi merugikan perekonomian global rata-rata hingga tujuh persen dari PDB setiap tahunnya.
Data menunjukkan, kelompok difabel di Indonesia, di mana mayoritas adalah perempuan serta orang tua, secara konsisten memiliki pendidikan yang lebih rendah, kesehatan yang lebih buruk, akses yang lebih sedikit terhadap layanan publik dan peluang ekonomi yang lebih terbatas dibandingkan dengan orang-orang yang bukan penyandang disabilitas.
Ditemukan fakta bahwa Indonesia hanya berada di peringkat ke-115 dalam indeks inklusivitas tahun 2020, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Thailand.
Sebagai informasi, diskusi publik bertajuk Inklusi Difabel Penting: Dialog Publik Perdagangan dan Investasi menggali berbagai cara untuk meningkatkan akses terhadap teknologi penunjang dan memastikan partisipasi yang lebih merata bagi kelompok difabel.
Diskusi ini juga sekaligus mengidentifikasi peluang signifikan perdagangan di Indonesia, dengan fokus pada ketersediaan, akses, keterjangkauan atau daya beli, dan kualitas, yang menurut para peserta merupakan hambatan utama. Katalis menyelenggarakan acara ini bersama program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif atau Program INKLUSI.
Baca Juga
Adapun salah satu mitra program INKLUSI yang berfokus pada pemenuhan hak penyandang disabilitas, yakni Direktur Eksekutif SIGAB Suharto mengungkapkan salah satu alasan mengapa penyandang disabilitas sulit mengakses pendidikan dan pekerjaan.
“[Dalam konteks penyandang disabilitas] alat bantu yang dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya 7 dari 50 jenis alat bantu yang direkomendasikan WHO. Itu pun dengan lingkup pembiayaan kecil, sedang sebagian besarnya masih dibayar oleh pengguna,” kata Suharto dalam keterangannya, Selasa (26/9/2023).
Bahkan, lanjutnya, untuk disabilitas netra tidak ada alat bantu yg dijamin oleh JKN. Dampaknya, penyandang disabilitas kesulitan mengakses pendidikan dan pekerjaan karena ketiadaan teknologi bantu.
Sementara itu, harga untuk teknologi penunjang di Indonesia, seperti kacamata, alat bantu dengar, dan kursi roda, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara sejenis dan umumnya hanya terjangkau oleh 20 persen rumah tangga terkaya.
“Menutup kesenjangan inklusi bagi kaum difabel di Indonesia akan berdampak positif secara sosial dan ekonomi, termasuk berpotensi meningkatkan perdagangan teknologi penunjang,” ujar Direktur Program IA-CEPA ECP Katalis Paul Bartlett.
Dia menambahkan, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) memungkinkan kedua negara mengidentifikasi peluang dan tantangan guna mendukung upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam mengurangi hambatan dan memfasilitasi inklusi kaum difabel.
Hasil dari diskusi ini akan digunakan untuk memperkaya studi yang saat ini dilakukan oleh Katalis mengenai perdagangan peralatan medis dan teknologi penunjang antara Indonesia dan Australia, yang akan dirilis pada awal 2024. Informasi selengkapnya dapat diakses di katalis.org.