Bisnis.com, JAKARTA - Bakal calon presiden Ganjar Pranowo ingin merevisi Undang-Undang No. 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) apabila terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia selanjutnya.
Ganjar melihat, kebiasaan korupsi masyarakat Indonesia sudah keterlaluan. Menurutnya, akar masalah korupsi ini merupakan sistem regulasi yang kurang ketat.
Oleh sebab itu, dia mendorong perkuatan KPK dengan revisi regulasi yang mengaturnya. Meski demikian, lanjutnya, perlunya lobi politik yang tak mudah.
"Revisi regulasi itu memerlukan satu treatment [perlakuan] tersendiri, political interplay [lobi politik]," jelas Ganjar dalam acara Mata Najwa: 3 Bacapres Bicara Gagasan seperti yang disiarkan kanal YouTube Universitas Gadjah Mada, Selasa (19/9/2023).
Dia menjelaskan, yang berhak melakukan melakukan revisi merupakan parlemen. Oleh sebab itu, pihak eksekutif akan tetap mendekati parlemen agar revisi UU KPK dapat direalisasikan.
"Agar terjadi penguatan sistem, meskipun kuatnya itu bisa tertuduh nanti itu oligarki. Tetapi itu effort [usaha] bisa dilakukan, kalau kemudian semua dalam satu barisan sepakat, maka apa yang akan dilakukan itu bukan hal sulit," ujarnya.
Baca Juga
Sebagai informasi, sejak revisi UU KPK direvisi beberapa tahun lalu, banyak yang menganggap lembaga antirasuah itu diperlemah. Akhirnya, banyak yang mengkritik UU KPK yang baru.
Akibatnya, ada 14 orang, tiga di antaranya adalah komisioner KPK periode 2015-2019 yaitu, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang yang melakukan uji formil UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun dalam gugatannya, Agus Rahardjo cs melihat penyusunan revisi UU KPK tidak memenuhi rambu-rambu prosedural formil pembentukan undang-undang.
Salah satunya adalah penyusunan ini tidak sesuai dengan UU tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Penggugat melihat penyusunan aturan ini cacat prosedural karena tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.
Selain itu, tidak mengedepankan aspek partisipasi publik. Meski demikian, MK menolak perkara yang teregistrasi dengan nomor 79/PUU-XVII/2019 itu.